Mengenal Nilai Karya Sastra
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah sastra atau karya sastra: prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita akan memperoleh "sesuatu" yang dapat memperkaya wawasan dan/atau meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan.
Karya sastra (yang baik) senantiasa mengandung nilai. Nilai itu dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat atau di dalam larik, kuplet, rima, dan irama. Nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, antara lain, adalah sebagai berikut:
(1) nilai hedonik, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;
(2) nilai artistik, yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;
(3) nilai kultural, yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaanl;
(4) nilai etis, moral, agama, yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
(5) nilai praktis, yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Sastrawan Indonesia
A.A. Navis dilahirkan Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924. “Robohnya Surau Kami” dan sejumlah cerita pendek lain penerima Hadiah Seni dari Departemen P dan K pada 1988 ini, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jepang, Perancis, Jerman, dan Malaysia. Cerpen pemenang hadiah kedua majalah Kisah di tahun 1955 itu diterbitkan pula dalam kumpulan Robohnya Surau Kami (1956). Karyanya yang lain: Bianglala (1963), Hujan Panas (1964; Hujan Panas dan Kabut Musim, 1990), Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970; novel ini memperoleh penghargaan Sayembara Mengarang UNESCO/IKAPI 1968), Dermaga dengan Empat Sekoci (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Jodoh (1998).
Abdul Hadi WM dilahirkan di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Antara 1967-83 pernah menjadi redaktur Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Budaya Jaya, Berita Buana, dan penerbit Balai Pustaka. Pada 1973-74 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976; meraih hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1976-77), Tergantung Pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1983; mengantarnya menerima penghargaan SEA Write Award 1985). Sejumlah sajaknya diterjemahkan Harry Aveling dan disertakan dalam antologi Arjuna in Meditation (1976). Karya-karya terjemahannya: Faus (Goethe), Rumi: Sufi dan Penyair (1985), Pesan dari Timur (1985; Mohammad Iqbal), Iqbal: Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya (1986; bersama Djohan Effendi), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985), Kehancuran dan Kebangunan: Kumpulan Puisi Jepang (1987). Kumpulan esainya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber diluncurkan pada 1999, dua puluh tahun setelah ia menerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Abdul Muis dilahirkan di Solok, Sumatera Barat, 1886, dan meninggal di Bandung, 17 Juli 1959. Menulis novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), Robert Anak Surapati (1953), dan menerjemahkan antara lain: Don Quixote de la Mancha (1928; Carventes), Tom Sawyer Anak Amerika (1928; Mark Twain); Sebatang Kara (1932; Hector Malot), Tanah Airku (1950; C. Swann Koopman).
Abrar Yusra dilahirkan di Agam, Sumatera Barat, 26 Maret 1943. Karya-karya mantan redaktur pelaksana harian Singgalang yang kini banyak menulis buku biografi ini, antara lain: Ke Rumah-rumah Kekasih (1975), Siul (1975), Aku Menyusuri Sungai Waktu (1976), Amir Hamzah 1911-1946 sebagai Manusia dan Penyair (1996).
Achdiat K. Mihardja dilahirkan di Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911. Sebelum menjadi dosen Universitas Nasional Australia dari 1961 hingga pensiun, ia pernah bekerja sebagai guru Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dan dosen Fakultas Sastra Indonesia. Karyanya antara lain: Polemik Kebudayaan (1948; [ed].), drama Bentrokan dalam Asmara (1952), Pak Dullah in Extremis (1977), dan novel Debu Cinta Bertebaran (1973) serta Atheis (1949). Yang terakhir ini adalah karyanya yang paling terkenal dan memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada 1969. Tiga tahun kemudian novel tersebut diterjemahkan R.J. Maguire ke dalam bahasa Inggris.
Ahmad Tohari
dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948. Pernah bekerja sebagai redaktur majalah Keluarga dan Amanah. Karya-karyanya: Kubah (1980; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama 1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986; meraih hadiah Yayasan Buku Utama 1986), Di Kaki Bukit Cibalak (1986; pemenang salah satu hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1979), Senyum Karyamin (1989), Bekisar Merah (1993), Kiai Sadrun Gugat (1995), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam (2000).
Novelis yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing ini adalah salah seorang alumnus International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan pada 1985 dianugerahi SEA Write Award.
Goenawan Mohamad
dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Pemimpin redaksi majalah Tempo selama 23 tahun yang juga mantan wartawan harian Kami ini dikenal luas sebagai penyair dan penulis esai yang sangat cerdas.
Karya-karyanya antara lain: Pariksit (1971), Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972), Interlude (1973), Seks, Sastra, Kita (1980), Catatan Pinggir (1982-91; empat jilid), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan ini, pada 1973 mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah RI, dan delapan tahun kemudian meraih SEA Write Award.
Kuntowijoyo
dilahirkan di Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943. Di tahun 1974 meraih MA dari Universitas Connecticut, dan enam tahun kemudian Ph.D. dari Universitas Columbia, keduanya di Amerika Serikat. Dikenal sebagai sejarawan, novelis, penulis cerpen, esais, dan penyair.
Karya-karyanya antara lain: Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966), Rumput-rumput Danau Bento (1969), Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma (1972), Barda dan Cartas (1972), Topeng Kayu (1973; mendapat hadiah kedua Sayembara Penulisan Lakon DKJ 1973), Isyarat (1976), Suluk Awang Uwung (1976), Khotbah di Atas Bukit (1976), Dinamika Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991), Radikalisasi Petani (1993), Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1993), Pasar (1995). Kedua cerpennya dijadikan dua judul buku antologi cerpen penting: Laki-laki yang Kawin dengan Peri dan Sampan Asmara (masing-masing cerpen terbaik harian Kompas 1994 dan 1995)..
Mochtar Lubis
dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Mantan wartawan LKBN Antara ini memimpin harian Indonesia Raya sejak 1951 hingga koran tersebut dilarang terbit pada 1974. Karena tulisan-tulisannya di surat kabar itu pula, selama sepuluh tahun (1956-66) ia ditahan Pemerintah Orde Lama. Sejak 1966, ia memimpin majalah sastra Horison. Ketua Yayasan Indonesia ini adalah penerima Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina (1958), Pena Emas dari World Federation of Editor and Publisher (1967), dan Hadiah Sastra Chairil Anwar (1992) dari Dewan Kesenian Jakarta.
Kumpulan cerita pendek dan novel-novelnya adalah: Si Jamal dan Cerita-cerita Lain (1951), Perempuan (1956; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-56), Kuli Kontrak (1982), Bromocorah (1983), Tak Ada Esok (1951), Jalan Tak Ada Ujung (1952; memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1952), Tanah Gersang (1966), Senja di Jakarta (1970), Harimau! Harimau! (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1975), Maut dan Cinta (1977). Karya-karya terjemahannya: Tiga Cerita dari Negeri Dolar (1950; John Steinbeck, Upton Sinclair, John Russel), Orang Kaya (1950; F. Scott Fitzgerald), Yakin (1950; Irwin Shaw), Kisah-kisah dari Eropah (1952), dan Cerita dari Tiongkok (1953).
Mohammad Diponegoro dilahirkan di Yogyakarta, 28 Juni 1928, dan meninggal di kota yang sama, 9 Mei 1982. Karya-karya pendiri dan pemimpin Teater Muslim yang pernah menjadi Wakil Pimpinan Umum/Wakil Pemimpin Redaksi Suara Muhammadiyah (1975-82) ini antara lain: Surat pada Gubernur, Kabar Wigati dan Kerajaan (1977), Duta Islam untuk Dunia Modern (1983; bersama Ahmad Syafii Maarif), Iblis (1983), Percik-percik Pemikiran Iqbal (1983), Siasat (1984), Yuk, Nulis Cerpen, Yuk (1985), Odah dan Cerita Lainnya, dan antologi puisi Manifestasi (1963).
Motinggo Busye dilahirkan di Kupangkota, Lampung, 21 November 1937, dan meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999. Menulis banyak novel, menyutradarai film, dan melukis. Karya-karyanya antara lain: drama Malam Jahanam (1958; memenangkan hadiah pertama Sayembara Penulisan Drama Departemen P & K 1958), novel Malam Jahanam (1962), Badai Sampai Sore (1962), Tidak Menyerah (1962), Keberanian Manusia (1962), 1949 (1963), Bibi Marsiti (1963), Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (1963), Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (1963), Nyonya dan Nyonya (1963), Sejuta Matahari (1963), Matahari dalam Kelam (1963), Nasehat untuk Anakku (1963), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), Dia Musuh Keluarga (1968), Madu Prahara (1985). Cerita pendeknya, “Dua Tengkorak Kepala”, terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas dan dipublikasikan dalam kumpulan cerita pendek berjudul sama (2000).
Nh. Dini
dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936. Karya-karyanya: Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989; perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma Kovida Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), Kemayoran (2000).
Pramudya Ananta Toer
dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Novelis Indonesia paling produktif dan terkemuka yang pernah meredakturi ruang kebudayaan “Lentera” Harian Rakyat (1962-65) dan dosen di Universitas Res Publica Jakarta ini, setelah peristiwa G30S/PKI ditahan di Jakarta dan Pulau Buru sebelum akhirnya dibebaskan pada 1979.
Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, antara lain: Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Jepang. Novel-novelnya yang telah diterbitkan: Kranji-Bekasi Jatuh (1947), Perburuan (1950; pemenang Hadiah Pertama Sayembara Balai Pustaka 1949), Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Gulat di Jakarta (1953), Maidah, Si Manis Bergigi Emas (1954), Korupsi (1954), Suatu Peristiwa di Banten Selatan (1958; menerima Hadiah Sastra Yayasan Yamin 1964, dan ditolak pengarangnya), Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Gadis Pantai (1985), Rumah Kaca (1987), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999). Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dalam: Subuh (1950), Percikan Revolusi (1950), Cerita dari Blora (1952; memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1952), Cerita dari Jakarta (1957; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58, dan ditolak oleh penulisnya). Sedangkan karya-karya terjemahannya antara lain: Tikus dan Manusia (1950; John Steinbeck), Kembali kepada Cinta Kasihmu (1950; Leo Tolstoy), Perjalanan Ziarah yang Aneh (1956; Leo Tolstoy), Kisah Seorang Prajurit Soviet (1956; Mikhail Solokhov), Ibu (1956; Maxim Gorky), Asmara dari Rusia (1959; Alexander Kuprin), Manusia Sejati (1959; Boris Pasternak). Selain itu, ia juga menulis memoar, esai, dan biografi.
Seno Gumira Ajidarma
dilahirkan di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Karya-karya penulis cerita pendek yang sejak 1985 bekerja di majalah Jakarta Jakarta ini antara lain: Mati Mati Mati (1978), Bayi Mati (1978), Catatan Mira Sato (1978), Manusia Kamar (1978), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994; kumpulan cerita pendek terbaik versi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI 1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Negeri Kabut (1996), Jazz, Parfum, dan Insiden (1992).
Cerpennya, “Pelajaran Mengarang”, dipilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1992, dan cerpen-cerpennya yang lain hampir setiap tahun terpilih masuk dalam antologi cerpen terbaik surat kabar itu. Pada 1995 ia memperoleh penghargaan SEA Write Award.
Sutardji Calzoum Bachri
dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Pada 1974-75 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan sejak 1979 hingga sekarang menjabat redaktur majalah sastra Horison. Karya-karyanya: O (1973), Amuk (1977; mendapat Hadiah Puisi DKJ 1976-77), Kapak (1979), O Amuk Kapak (1981).
Sejumlah puisinya diterjemahkan Harry Aveling dan dimuat dalam antologi berbahasa Inggris: Arjuna in Meditation (1976; Calcutta). Pada 1979 ia menerima anugerah SEA Write Award dan sembilan tahun kemudian dilimpahi Penghargaan Sastra Chairil Anwar. Sebelumnya, peraih penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia itu adalah Mochtar Lubis.
Taufiq Ismail dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Penerima American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57), dan lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor (1963). Karya-karya penyair penerima Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970 yang juga salah seorang pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968) ini, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999). Bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, penyair yang tinggi sekali perhatiannya pada upaya mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi itu menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama D.S. Moeljanto, salah seorang seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan ini menyunting Prahara Budaya (1994).
Umar Kayam
dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932. Meraih M.A. di Universitas New York (1963), dan Ph.D. dua tahun kemudian dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada hingga pensiunnya di tahun 1997 ini adalah anggota penyantun/penasehat majalah sastra Horison sebelum mengundurkan pada 1 September 1993. Pada 1987, ia meraih SEA Write Award. Karya-karyanya: Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972), Totok dan Toni (1975), Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Bangsa (1985), Para Priyayi (1992; mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K 1995), Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), Jalan Menikung (1999). Cerpen-cerpen-cerpennya diterjemahkan Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan Armageddon (1976).
Utuy Tatang Sontani
dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, 31 Mei 1920, dan meninggal di Moskow, Uni Soviet, 17 September 1979. Karya-karya sastrawan anggota pimpinan LEKRA (1959-65) yang menulis novel dan banyak karya sastra drama ini adalah: Suling (1948), Bunga Rumah Makan (1984), Tambera (1949), Orang-orang Sial (1951), Awal dan Mira (1952; mendapat hadiah Sastra Nasional BMKN 1953), Manusia Iseng (1953), Sangkuriang Dayang Sumbi (1953), Sayang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Selamat Jalan Anak Kufur (1956), Di Muka Kaca (1957), Saat yang Genting (1958; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58), Manusia Kota (1961), Segumpal Daging Bernyawa (1961), Tak Pernah Menjadi Tua (1963), Si Sapar (1964), Si Kampreng (1964), dan terjemahan Selusin Dongeng (1949; Jean de la Fountain).
Sastra Bernuansa Sejarah
Peristiwa masa silam tidak mungkin berulang lagi. Benarkah pandangan itu? Secara sekilas, pandangan itu dapat kita terima. Namun, pola kejadiaanya mungkin saja tampil pada masa kini atau pada masa yang akan datang. Agaknya itulah yang menyebabkan timbulnya ungkapan "kita perlu belajar pada sejarah" karena peristiwa pada masa lampau dapat memberikan hikmah pada kehidupan masa kini atau pada hari esok.
Karya sastra yang bermuatan kisah masa silam bukanlah rekamam fakta sejarah yang sesungguhnya, melainkan hasil rekaan. Sekalipun demikian, karya itu juga bukan sepenuhnya buah imajinasi pengarangnya.
Nilai kepahlawanan atau semangat perjuangan, misalnya, dapat kita simak dalam novel Mutiara (Nur Sutan Iskandar, 1946), Pagar Kawat Berduri (Trisnoyuwono, 1963), Surapati (Abdul Muis, 1965), dan Robert Anak Surapati (Abdul Muis, 1987). Dalam Mutiara, Nur Sutan Iskandar berkisah tentang perilaku penjajah di tanah Aceh. Kendati ia tidak terlibat langsung dalam peristiwa itu, mata batinnya mampu menjangkau dan menjadi saksi sejarah. Untuk itu, ia bertutur melalui karyanya pada cukilan percakapan di bawah ini.
“ | Cut Meutia agak termangu-mangu. ... "Tuhan, aku bersumpah akan meneruskan perjuangan bangsa ini sekuat tenagaku. Tak ada mati yang kuharapkan mati syahid dalam mempertahankan agama, bangsa, dan tanah airku yang suci ini." | ” |
Begitulah Iskandar menitipkan pesan jiwa patriotisme. Dengan demikian, di dalam karya itu tersirat juga nilai kepahlawanan.
Trisnoyuwono pernah mengangkat unsur sejarah pada masa perang kemerdekaan di dalam karyanya Pagar Kawat Berduri. Fakta sejarahnya ialah perang revolusi menjelang kedaulatan pada tahun 1949. Ia menampilkan kembali dalam karya sastranya itu kisah kehidupan orang tahanan (lebih dari 150 orang) yang meringkuk di sebuah kamp darurat di Salatiga. Mereka terbelenggu penderitaan, tetapi dalam dadanya tetap tumbuh semangat untuk membela negara.
Ragam puisi--wiracarita (epos) atau balada—yang bertemakan perjuangan juga tidak sedikit dalam karya sastra. Melalui sejumlah sajak, Amir Hamzah mengemukakan keperkasaan Hang Tuah; Chairil Anwar menampilkan kegagahan Pangeran Diponegoro; M. Saribi Afan menampilkan keberanian Pangeran Sudirman; dan Subagio Sastrowardojo menampilkan ketegaran Mongonsidi ketika menghadapi tiang eksekusi. Keperkasaan, kegagahan, keberanian, dan ketegaran tokoh itu dapat kita hayati kembali dalam mengisi wawasan kebangsaan kita. Subagio Sastrowardoyo dalam Monginsidi menumbuhkan "cinta bangsa" bagi generasi penerusnya.
“ | Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka' sebelum ditembak mati. Aku adalah dia, ingat, aku adalah dia! | ” |
Sastra dan Nilai Budaya Daerah
Sebagian besar sastra daerah di Indonesia identik dengan sastra lisan. Fungsinya, selain sebagai saluran untuk memelihara dan menurunkan buah fikiran suku atau puak yang mempunyai sastra itu, juga cerminan alam pikiran, pandangan hidup, serta ekspresi rasa keindahan masyarakat pemiliknya. Itulah yang biasa dinamakan dengan nilai budaya daerah.Sistem nilai itu berupa konsepsi yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wujudnya dapat berupa adat-istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langkah dan tindak budaya yang adab. Dengan sikap rasa ikut memiliki, dalam diri seseorang akan timbul rasa menghargai dan memiliki sesuatu yang sebenarnya memang milik bersama, seperti ada rasa memiliki terhadap ungkapan di dalam bahasa Jawa tut wuri handayani dan pepatah bulat air kerena buluh, bulat kata karena mufakat. Dalam kehidupan keluarga sering kita dengar petuah, "Janganlah menjadi anak seperti Si Malin Kundang dan Si Mardan yang mendapat kutukan karena tidak hormat kepada orang tua."
Sastra dan Kebenaran
Seseorang yang ingin memahami "kesiapan" sastrawan tentu perlu membaca karyanya. Hal itu dapat dilakukan jika sastrawan itu mampu mengutarakan pikiran dan perasaanya dengan baik dan jelas. Kejelasan pengungkapan khazanah batin sastrawan ke dalam karyanya itu tentu bergantung pada kepiawaiannya memberdayakan bahasa sebagai sarananya.Betapapun hebatnya gejolak imajinasi atau ide sastrawan, ia tidak akan mampu menuangkannya sama persis dengan apa yang dirasakannya. Hal itu boleh jadi disebabkan oleh minimnya penguasaan bahasa sastrawan dan/atau keterbatasan bahasa itu sendiri sebagai sarana. Selain itu, apa yang terungkap dalam karya itu bukanlah semata-mata hasil pengamatan sastrawan, tetapi juga apa yang dirasakan dan ditafsirkannya tentang objek yang dihadapinya. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa seni merupakan tiruan alam tidak sepenuhnya benar.
Bila karya sastra bukan semata-mata tiruan alam, berarti sastra itu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ukuran kebenaran sering diterapkan orang dalam menilai suatu karya sastra. Penikmat sastra acapkali menghubungkan peristiwa yang tertuang dalam karya sastra dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung jawab moral terhadap kebenaran itu memang harus ada dalam diri sastrawan melalui karyanya. Jika tidak, penikmat sastra alam menolaknya. Untuk itu, yang perlu dipersoalkan adalah pengertian kebenaran dalam karya sastra itu.
Kebenaran dalam karya sastra bukan kebenaran yang sama persis dengan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, kebenaran pelambangan, kebenaran ideal, atau kebenaran yang sepatutnya terjadi. Patokan semacam itu akan dapat membantu pemahaman para penikmat sastra dalam menerima cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang berbaur dengan kesaktian dan keajaiban, sebagaimana terlihat dalam epos "Ramayana" dan "Mahabarata".
Sastra dan Agama
Agama bagi kebanyakan bangsa pada berbagai macam tingkat kemasyarakatan merupakan daya penyatu yang amat sentral dalam pembinaan kebudayaan. Agama mampu mengawal hukum moral, mendidik tunas muda, dan mengajarkan aneka kearifan dan kebijakan.Seiring dengan fungsinya, agama juga bertindak sebagai faktor kreatif dan dinamis, perangsang atau pemberi makna kehidupan. Melalui agama, kita pun dapat mempertahankan keutuhan masyarakat agar hidup dalam pola kemasyarakatan yang telah tetap, sekaligus menuntun umat untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Peran agama sebagai pendorong penciptaan karya sastra, sebagai sumber ilham, patut pula diperhitungkan. Sebaliknya, acapkali karya sastra bermuara pada ajaran agama. Bahkan, dalam kenyataan, agama merupakan ambang pintu bagi segenap kesusastraan agung di dunia serta sumber filsafat yang selalu mengacu kepadanya.
Sebagai karya kreatif, karya sastra yang mengangkat masalah kemanusiaan, yang bersandarkan kebenaran, akan menggugah nurani dan memberikan kemungkinan pertimbangan baru pada diri pembacanya. Hal itu tentu ada kaitannya dengan tiga wilayah fundamental yang menjadi sumber penciptaan karya sastra: kehidupan agama, sosial, dan individual. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila sastra dapat berfungsi sebagai peneguh suasan batin pembaca dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Petikan sajak "Di Depanmu Aku Sirna Mendebu" (Budiman S. Hartojo) tergolong karya keagamaan yang menyiratkan kebesaran Sang Pencipta.
Di depan-Mu sirna mendebu
Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha
.....
Keagungan Tuhan, tuntunan mencintai sesama, dan ketakwaan kepada Sang
Khalik juga dapat ditemukan dalam sejumlah karya sastra Indonesia.Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mata-Mu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha
.....
Berbagai seni yang berlatar cerita (fiksi),karya sastra membawakan nilai-nilai,pesan dan cerita karya pada pembaca, nilai-nilai tersebut adalah:
a. Nilai Kesenangan
Pembaca mendapat pengalaman atas peristiwa atau kejadian yang dikisahkan dan berimajinasi untuk mengenal daerah atau tempat asing,atau mengenal tokoh-tokoh dan tinhkah lakunya yang aneh dan rumit dalam kehidupannya.
b. Memberikan Informasi
Tentang kehidupannya di masa lalu,masa kini ataupun untuk masa mendatang atau asing yang tidak terdapat pada Ensiklopedia.
c. Warisan Kultural
Mengungkapkan impian-impian, aspirasi genersi terdahulu yang seharusnya dihayati oleh generasi masa kini.
d.Keseimbangan wawasan
Dapat memperluas dan memperdalam persepsi dan wawasannya tentang tokoh,kehidupan manusia segingga akan terbentuk keseimbangan,terutama menghadapi kenyataan-kenyataan diluar dirinya yang mungkin berlainan pribadinya.
Sekiaaan.. dan semoga mengerti yaa :)
www.teori sastra.com
Biodata sastrawan indonesia.