twitter



“Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” atau juga disebut “Homo homini Lupus ” istilah ini pertama kali di kemukakan oleh plautus pada tahun 945,yang artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan kita masih belum tersadar juga. di jaman sekarang ini sangat sulit Menjadikan Manusia seperti seorang manusia pada umumnya,sepertinya istilah ini masih tetap berlaku sampai sekarang.
Ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris, untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Siapa pun bisa menjadi musuh. Manusia yang satu bisa “memakan” dan mengorbankan manusia lain demi tujuan yang ingin dicapai. “Bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua). Kebenaran pendapat Hobbes itu masih dapat kita jumpai dalam situasi kita saat ini. Kita merasakan bahwa situasi persaingan itu semakin menguat. Apalagi di era globalisasi yang ditopang oleh sistem pasar bebas. “Kalau mau tetap eksis, harus berani bersaing dengan yang lain” itulah jargon yang seringkali dimunculkan. Di antara negara-negara, persaingan itu sangat kentara. Perusahaanperusahaan trans-nasional bertebaran di mana-mana. Yang punya modal kuat bisa bertahan dan
bahkan makin mendulang keuntungan. Sementara yang modalnya kecil kandas di tengah jalan. Situasi persaingan itu tidak hanya terjadi antar institusi. Persaingan antar individu pun terjadi.
Tidak bisa dipungkiri Hidup di dalam suatu negara sangat di butuhkan sosialisasi karena kita tidak dapat Hidup dengan sendirinya tanpa ada manusia lain.Apalagi seperti keadaan sekarang ini kita Hidup di jaman yang serba susah .Demi mempertahankan hidup itu sendiri kita rela melakukan apa saja Mulai dari yang halal sampai yang Haram, tentunya semua itu kita lakukan  untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.Untuk mewujudkan itu semua memang tidak mudah dimana kita harus menghadapi berbagai konflik yang akan memicu lahirnya sikap saling mangsa Dan disinilah Peran Hati nurani & ego sangat dibutuhkan.
gambaran manusia di jaman sekarang ini sangatlah mengerikan dari segi sikap dan perbuatan terkadang lebih keji dari pada hewan yang paling buas sekalipun,saling sikut,saling berebut saling tikam bahkan saling memangsa layaknya serigala yang buas siap menerkam mangsanya demi sebuah kepuasan (ambisi).
sebagai contoh yang terjadi di dalam kehidupan kita seperti tindakan kekerasan,mulai dari perkelahian ,pembunuhan,pemerkosaan,serta aksi teror pemboman yang sedang trend di negara kita dan perang dunia yang memungkinkan akan terjadi lagi. Apakah itu disebut manusia ? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu semua manusia yang melakukanya dan dilakukan terhadap manusia juga ? entahlah..’
Pengakuan sebagai umat beragamapun yang telah patuh terhadap ajaranya kerap kali sebagai alasan tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Banyak pelaku kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah iman, masalah Tuhan atau masalah kebenaran (kebenaran yang ditafsirkan manusia itu sendiri).
HOMO homini lupus. Artinya, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Mungkin ucapan itu berlebihan. Mungkin juga ada benarnya. Bukankah kadang-kadang kita berperilaku seperti serigala terhadap orang lain: mengancam, menakut-nakuti, membentak, menjebak, memperdaya, mendengki dan merebut.
Kalau dipikir, sebenarnya mengerikan jika kita bersifat seperti serigala. Licin dan licik, kejam dan keji, buas dan beringas. Mengintai, menerkam dan mencakar. Kita menggigit dan memakan orang lain.
Apa jadinya kehidupan ini jika kita semua berperilaku seperti serigala. Itu berarti, kita hidup di sebuah kota dengan jutaan serigala: serigala yang mengemudi mobil, serigala yang duduk di kantor, serigala yang berjalan di mal; di mana-mana ada serigala.
O, tetapi ada kebalikannya. Homo homini angelus. Artinya, manusia menjadi malaikat terhadap sesamanya. Dalam hal ini kita malah berupaya ingin menjadi malaikat. Kita selalu mau sempurna. Kalau perlu kita memakai topeng. Tampak saleh dan suci, taat dan takwa, bertarak dan bertapa. Orang lain rusak ahlak berdosa, tetapi kita sempurna beragama. Orang lain duniawi, kita surgawi. Dalam tiap tutur kata, nama Allah selalu dibawa-bawa. Pokoknya, berbagai upaya ditempuh supaya kita menjadi malaikat alias setengah Allah.
Nah, manakah yang kita pilih? Menjadi serigala atau menjadi malaikat? Tentu jangan jadi serigala. Kalau begitu, menjadi malaikat? Juga jangan! Mana bisa kita menjadi malaikat? Untuk apa pura-pura jadi malaikat?
Kalau begitu kita menjadi apa? Homo homini homo! Artinya, manusia menjadi manusia terhadap sesamanya! Berkeprimanusiaan, berperasaan, berbudi, bertenggang rasa, bermartabat luhur, bermurah hati, berjiwa besar, bertanggung jawab, bermasyarakat, bukan menjadi serigala, bukan pula menjadi malaikat. Menjadi sesama manusia sajalah.
Pernah Kristus ditanya tentang apa artinya menjadi sesama manusia. Maka berceritalah Kristus tentang seorang korban perampokan yang terkapar di tepi jalan. Lewatlah seorang rohaniawan yang cepat-cepat buang muka. Lewatlah lagi seorang pemuka agama yang juga langsung berlaku.
Kemudian lewatlah seorang berbangsa lain dan beragama lain (bangsa itu dianggap haram dan agamanya tidak diakui!). Orang ini langsung menolong dan mengangkat korban ke tempat perawatan. Bertanyalah Kristus kepada hadirin, "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" (Luk. 10:36).
Hadirin menjawab, "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya". Bersabdalah Kristus, "Pergilah, dan perbuatlah demikian " (ay. 37).
Itulah arti menjadi sesama manusia. Menolong orang yang perlu ditolong tanpa membedakan bangsa dan agama. Sesama manusia kita adalah orang di depan mata yang memerlukan tempat di dalam hati kita.
Tetapi justru itu yang sulit. Menjadi manusia dan menjadi sesama manusia bukanlah perkara gampang. Lebih mudah kita terperosok menjadi serigala atau berpura-pura menjadi malaikat.
Seumur hidup kita masih perlu belajar menjadi manusia. Johann Pestalozzi (1746-1827) menulis bahwa Pendidikan Agama Kristen (maksudnya juga Pendidikan Umum) adalah "to concentrate on the humanisation of man, the pure function of the church is to promote a higher, more noble and more natural life for men."
Pendidikan adalah proses homonisasi, yakni usaha agar orang berhakikat manusia. Pendidikan juga merupakan proses humanisasi, yakni usaha agar orang berperilaku manusiawi.
Jadi, sebetulnya kita tidak perlu berusaha menjadi malaikat atau setengah Allah. Kalau kita menjadi manusia bagi sesama, itu sudah bagus. Untuk apa kita coba-coba menjadi malaikat? Allah yang adalah Allah mau menjadi manusia, masakan kita coba-coba jadi Allah?
Itulah berita Natal. Allah telah menjadi manusia. "firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita..." (Yoh 1:14). Pada peristiwa Natal Allah yang ada di surga turun ke dunia untuk menjelma menjadi seorang sesama manusia.
Homo homini lupus? Uh, amit-amit! Homo homini angelus? Ah, tak usah! Homo homini homo? Ya! Manusia menjadi manusia terhadap sesamanya. Inilah luhurnya makna hidup. Menjadi seorang sesama manusia.
Kristus telah menjadi seorang sesama manusia! Natal adalah homo homini homo: supaya manusia menjadi manusia terhadap sesamanya.

Sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.”
Bagi mereka yang kurang memahami konteks dalam Alkitab, bila membaca nats diatas maka dianggap bahwa  kita lah sang domba dan orang-orang yang tidak seiman dengan kita adalah ‘serigala’nya. Betulkah demikian? Lebih parahnya lagi kalau kita menganggap dalam setiap pelayanan pasti ada ‘serigala’nya dan mulai tunjuk sana sini sambil mengatakan inilah serigala yang dimaksud Yesus. Atau ekstrimnya tidak berani berbeda pendapat karena takut dicap ‘serigala’ oleh yang lain. Oh, come on …..Jangan-jangan justru kita lah si serigala bagi mereka, memangsa teman-teman sendiri dengan segala fitnah dan penghakiman. Banyak karya misi dan pelayanan Firman putus ditengah jalan karena satu sama lain saling memangsa dan menerkam.
Bacaan Injil hari ini mengisahkan saat Yesus baru saja mengutus murid-muridNya pergi berdua-dua, memberikan mereka kuasa lalu meneruskan apa yang telah Ia lakukan dalam pelayanan-pelayananNya sebelumnya. Para murid sudah pernah ikut dan melihat apa yang telah dilakukan oleh Yesus. Sekarang saatnya mereka dilepaskan ke desa-desa disekitarnya tanpa disertai Yesus. Mereka harus melakukannya sendiri sebagai utusan Tuhan Yesus. Yesus pun tahu bahwa para murid akan berhadapan dengan berbagai tantangan seperti yang Ia alami.
Yesus yang beritikad baik ternyata juga bisa ditolak dan diusir di beberapa tempat, bahkan Ia didakwa sesat oleh Ahli Taurat. Maka para murid yang masih polos dan masih harus perlu dibimbing dan digembalakan ini laksana domba yang ditinggalkan gembalanya, berhadapan dengan para ahli Taurat dan Farisi yang seperti serigala. Biasanya kalau serigala datang, gembala turun tangan. Tapi kali ini sang Gembala mengijinkan ‘domba’nya berhadap-hadapan dengan si serigala. Bisa dibayangan pertarungannya seperti apa. Gurunya saja diserang para Ahli Taurat dan Farisi, apalagi murid-murid Yesus yang mereka tahu cuma nelayan. Tinggal dicaplok lah.
Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Homo Homini Lupus (Plautus) demikian lah manusia bisa menjadi ganas menghadapi manusia lain yang sekiranya mengancam keselamatan atau kepentingannya. Bukankah itu terjadi di dunia bisnis, juga di dunia politik? Hhm…di organisasi intelektual dan agamis pun terjadi kok. Anak-anak pun akan melakukan hal yang sama bila mainannya dipegang oleh anak lain. Mereka secara natural meradang dan marah karena menyangka harta ‘milik’nya diambil. Reaksi normal  manusia bila terancam kan? Maka apa yang dialami Yesus juga akan dialami para murid, termasuk kita juga yang menjadi para pengikut Kristus. Bahkan kitapun bisa dianggap aneh dan asing karena melawan ‘arus’ dan ’sistem’ nilai yang berlaku disekitar kita, menolak ikut korupsi, menolak ‘jalan pintas’ hanya untuk pengurusan IMB, paspor dan KTP sekalipun.
Mungkinkah domba bisa selamat bila berhadapan dengan para serigala yang saling memangsa, tanpa bantuan sang gembala dengan tongkatnya? Lalu apa saran Yesus? Cuma satu sarannya, fokus pada perutusan dan mengandalkan Sang Pengutus itu sendiri. Percaya pada penyelenggaraan Ilahi, bukan berarti boleh bermalas-malasan dan tidak mempersiapkan bekal dan cadangan. Maksudnya adalah  agar  dalam menghadapi tugas perutusan kita tidak mengandalkan ‘atribut’ pakaian diri, jabatan, kekayaan dsb. Fokus pada tugas perutusan, tidak berbelok ke kiri ke kanan dalam melakukan tugas. Tidak perlu mampir kiri kanan, seolah transit, istirahat sebentar dari perutusannya untuk sekedar menyenangkan diri karena setiap saat adalah kesempatan berharga untuk mewartakan Sabda.
Dalam tugas perutusan kita akan banyak reaksi yang dihadapi, ada yang menerima pun ada yang menolak. Itu bukan menjadi tanggungjawab kita, karena bagian kita adalah membagikan dan mewartakan Sabda melalui berbagai karya. Hasil perutusan itu biarlah rahmat Ilahi yang berkarya.  Bisa langsung, bisa juga berhasil setelah puluhan tahun, biarlah itu menjadi hak Tuhan. Do our best, and let God do the rest.
Maka dalam perjalanan kehidupan kita, marilah kita fokus untuk jalan beriringan dengan kawan sekerja Allah, mencapai tujuan pemberitaan Kabar Baik sebanyak mungkin. Tidak menjadi bagian si serigala yang saling memangsa sesamanya. Tapi kita lakukan dalam berbagai karya baik sebagai klerus, pelajar, ibu rumah tangga, kelompok profesional dan pengusaha. Siang malam tetap konsisten, tidak ada jeda, tanpa istirahat dalam arti tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan. Sampai akhirnya bersma-sama kita tiba di garis peristirahatan akhir dan berharap sang Gembala menyambut dengan tangan terbuka dan berkata : Marilah pulang dan beristirahat dalam damai.
“Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya. Kata-Nya kepada mereka: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan. Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. Tinggallah dalam rumah itu, makan dan minumlah apa yang diberikan orang kepadamu, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. Janganlah berpindah-pindah rumah. Dan jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu diterima di situ, makanlah apa yang dihidangkan kepadamu, dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu. Tetapi jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu tidak diterima di situ, pergilah ke jalan-jalan raya kota itu dan serukanlah: Juga debu kotamu yang melekat pada kaki kami, kami kebaskan di depanmu; tetapi ketahuilah ini: Kerajaan Allah sudah dekat. Aku berkata kepadamu: pada hari itu Sodom akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu.”

Bahaya Politik "Homo Homini Lupus"
KETIKA kerakusan, cinta diri menjadi pola kehidupan, dan penghormatan kepada kebenaran lebih didasarkan pada uang dan kekuasaan, akan muncul situasi di mana orang lain bukan lagi dianggap saudara, melainkan musuh. Keadaan ini akan melahirkan apa yang disebut homo homini lupus (manusia merupakan serigala bagi sesamanya).
Pernyataan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) itu patut dicermati dengan penuh keprihatinan dan kewaspadaan. Penuh keprihatinan sebab pernyataan itu merupakan tangkapan jernih seorang tokoh agama atas realitas perpolitikan Tanah Air yang cenderung mulai diatur oleh "uang" dan "kekuasaan".
MESKI reformasi telah berjalan lima tahun, para elite negeri selalu "mengumbar janji" berkomitmen segera menciptakan sebuah sistem politik dan pemerintahan yang demokratis, beradab, berkeadilan sosial, dan selalu menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Namun, politik uang, penggunaan kekerasan, korupsi, kolusi dan nepotisme tetap berlangsung. Lihat, "keterlibatan" elite politik dalam "permainan uang" di sejumlah pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota. Bahkan, sistem pemerintahan dan birokrasi kita sejak reformasi tahun 1998 hingga kini masih mempertahankan watak korup. Sejalan dengan itu, elite partai tidak bosan-bosan mempertukarkan "mandat" konstituennya dengan setumpuk "uang" dan "jabatan".
Fenomena ini diakui Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara di depan peserta kursus reguler ke-36 dan kursus singkat ke-11 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), "…politik uang, yang pasti akan disusul korupsi, kolusi dan nepotisme, merupakan salah satu faktor yang menjerumuskan bangsa kita ke dalam krisis ekonomi yang bukan main sukarnya untuk diatasi dewasa ini."
Situasi ini sungguh memprihatinkan sebab politik uang dan penggunaan kekerasan tidak lagi disadari sebagai abnormalitas, tetapi dihayati sebagai hal yang "lumrah" terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Penuh kewaspadaan, sebab jika tidak ada partisipasi bersama oleh seluruh komponen bangsa, situasi ini-menurut Kardinal Darmaatmadja-akan mengarah pada munculnya paham homo homini lupus.
Akibatnya, kehidupan politik nasional akan lebih banyak diwarnai tampilnya para politisi yang setiap langkahnya selalu diorientasikan pada gerakan "politik mencari makan" bukan untuk mewujudkan "kebaikan bersama" (public good). Dampaknya, Pemilu 2004 nanti pasti akan banyak dipenuhi permainan politik "kotor" yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan (kekuasaan).
Pemilu pada hakikatnya merupakan media terbaik bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Karena itu, seluruh mekanisme, proses dan hasil pemilu harus diselamatkan dari segala praktik politik "jual-beli" yang bisa mencederai kedaulatan rakyat. Pernyataan Kardinal Darmaatmadja itu harus dilihat sebagai salah satu usaha preventif (salvation) agar "kontrak politik" antara rakyat dan para calon pemimpin nasional dalam pemilu nanti bisa berlangsung fairness, sukses, dan benar-benar mampu memenuhi harapan seluruh rakyat Indonesia.
MENURUT Nicolaus Driyarkara, tokoh pendidikan filsafat di Indonesia, eksistensi manusia dalam hubungannya dengan sesama adalah homo homini socius, manusia adalah kawan atau rekan bagi sesamanya. Karena itu, keinginan dan usaha untuk menghabisi sesama dalam persaingan berdarah, bahkan usaha meniadakan sesama dengan menghilangkannya lewat iklim hidup sosial yang kejam-keji, yaitu homo homini lupus, di mana manusia saling iri, dengki, mencakar, dan membunuh, harus ditolak. Konsekuensi logis tesis manusia adalah karib bagi sesamanya, dalam konteks kehidupan politik, adalah ditolaknya perilaku "rakus" mirip "serigala" dari para politisi yang tidak segan menggunakan kekerasan dan menumpahkan darah rakyat tidak berdosa demi kekuasaan politik.
Para politisi dituntut lebih mampu menguasai diri dari naluri destruktif melalui proses humanisasi (pemanusiaan) apaapa yang membuatnya ganas, brutal, dan mau berkuasa liar. Nalar "serigala" harus diganti dengan nalar "manusiawi". Dalam situasi budaya politik masa kini yang serba pragmatis-materialistis, para politisi harus mampu menampilkan eksistensinya sebagai manusia (subyek) yang sadar diri, bermartabat, dan tidak bisa digilas godaan politik uang dan kekuasaan.
Nalar "manusiawi" dalam pola berpolitik, berpartai, dan bernegara mengejawantah pada terbentuknya komitmen (konsensus) bersama dari seluruh stakeholder politik dan kekuasaan untuk meletakkan esensi politik sebagai usaha mewujudkan "kebaikan bersama".
Sebagaimana dikemukakan Aristoteles, politik merupakan asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh masyarakat. Kebaikan bersama (kepentingan publik) itu, menurut Aristoteles, memiliki nilai moral yang jauh lebih tinggi daripada kepentingan individual maupun kelompok.
Dengan begitu, seluruh bentuk aktivitas politik sebagai derivasi homo homini socius masuk dalam lokus kebudayaan. Kebudayaan di sini diartikan keseluruhan proses pemekaran bakat, energi, dan kemampuan kreatif manusia yang membuatnya sejahtera dalam hubungan vertikal (transendental) maupun horizontal (kemanusiaan). Ruang kebudayaan inilah yang akan memberi guidance politisi menghapus kosakata "musuh politik" diganti "kompetitor politik", "cinta diri" digantikan dengan "cinta sesama", sebutan "wong liyan" dengan "saudara", konsepsi "takhta untuk uang" diganti "takhta untuk rakyat" dan sebagainya.
Jalan menuju ke arah itu, menurut Driyarkara, hanya bisa ditempuh melalui dua cara, hominisasi dan humanisasi. Hominisasi dimaknai sebagai sebuah proses panjang dari kandungan, kelahiran, sampai kematian yang berlangsung sebagai proses perkembangan fisik biologis kian mematangkan diri untuk menjadi manusia. Adapun, humanisasi sebagai tindak lanjut proses hominisasi terkait lekat pembudayaan diri dan lingkungan pematangan diri secara fisiologis dan kultural dalam memberi arti dan merajut makna secara simulta.
CITA-cita humanisasi politik, secara kultural maupun struktural berpijak pasti dan tegas pada visi kemanusiaan manusia sebagai rekan bagi sesamanya. Untuk itu, para politisi harus bersedia melakukan revolusi radikal dalam cara berpikir politiknya. Tidak ada pilihan lain kecuali meneladani pikiran-pikiran Driyarkara sebagai bahan pertimbangan utama setiap aktivitas politiknya.
Karena itu, kekhawatiran Kardinal Darmaatmadja SJ atas menguatnya paham homo homini lupus dalam pentas politik nasional hanya akan bisa di hapus melalui kesediaan seluruh pemimpin dan rakyat Indonesia untuk mewujudkan obsesi Driyarkara, visi manusia sebagai sahabat bagi sesamanya (homo homini socius) dalam kehidupan perpolitikan Tanah Air. Ini merupakan lawan dari penindasan manusia atas sesamanya; merupakan antitesis pandangan perlakuan sesama sebagai saingan, bahkan musuh yang harus dibunuh atau disingkirkan bila kepentingan bertabrakan.
Namun, problem mendasarnya adalah bagaimanakah caranya agar politisi kita bersedia meninggalkan paham homo homini lupus? Bersediakah mereka melakukan proses humanisasi atau pembudayaan untuk kian merajut lingkungan politik di mana manusia bersesama mencapai kemanusiaan penuh dan harkat utuh? Pertanyaan ini layak diajukan sebab setelah perdebatan filosofis antara Soepomo dan M Hatta tentang bentuk (model) negara berakhir, sejak itu pula bangsa Indonesia hanya disuguhi "debat kusir" politisi yang hanya berorientasi kursi, uang, dan takhta.
HOMO HOMINI SOCIO
Homo homini socio “Manusia adalah teman bagi manusia lain”.
Definisi Manusia didalam Homo Homini Socio, Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalamagama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.

Meskipun banyak spesies berprinsip sosial, membentuk kelompok berdasarkan ikatan / pertalian genetik, perlindungan-diri, atau membagi pengumpulan makanan dan penyalurannya, manusia dibedakan dengan rupa-rupa dan kemajemukan dari adat kebiasaan yang mereka bentuk entah untuk kelangsungan hidup individu atau kelompok dan untuk pengabadian dan perkembangan teknologi, pengetahuan, serta kepercayaan. Identitas kelompok, penerimaan dan dukungan dapat mendesak pengaruh kuat pada tingkah laku individu, tetapi manusia juga unik dalamkemampuannya untuk membentuk dan beradaptasi ke kelompok baru. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan interaksi antar manusia.
Di dalam kehidupan sehari-hari kita pasti membutuhkan orang lain untuk berinteraksi dan beradaptasi.tanpa orang lain pun kita tak bisa apa-apa.Saling membantu,menolong,menghargai,dan menghormati sesama manusia yang hidup di dunia ini.
Contohnya Peristiwa Sumanto beberapa tahun yang lalu begitu mengemparkan, membuat ketidakmengertian mengapa ada manusia yang memakan manusia lainnya walau sudah berbentuk mayat. Kanibalisme sungguh sangat tidak bisa ditolelir sama sekali. Bagaimana dengan masa kini ? Kalau kita mau cermati tentunya kita akan melihat bahwa pemangsaan atau kanibalisme ini telah mengalami perubahan kondisi. Kanibalisme telah berubah bentuk yang lebih halus, yaitu perilaku, cara berfikir,
manner, pemahaman, dll.

Kekerasan terjadi dimana-mana. Eksploitasi manusia terhadap manusia tak dapat dihindarkan. Manusia dalamkehidupan bersama semakin terancam. Hukum memperkosa keadilan. Kehidupan manusia berada di titik nol kondisi seperti itulah yang kini dialami manusia dalam kehidupan masyarakat –bahkan dibeberapa abad silam. Padahal manusia bermasyarakat untuk mencapai tujuan bersama demi kehidupan yang lebih baik. Bertolak dari persoalan tersebut patut diajukan pertanyaan Apakah manusia itu? Siapakah manusia itu? Bagaimanakah kodrat kehidupan manusia? Mengingat persoalan yang dihadapi menyangkut manusia sebagai subyek (pelaku) dalamkehidupan sosial. Itulah yang direnungkan Drijarka setengah abad silam. Ia merenungkan gejala-gejala sosial bertolak
pengalaman eksistensi manusia. Gejala-gejala sosial dilihat dari pengalaman eksistensial manusia sebagai subyek sosial. Gagasan-gagasan tentang manusia merupakan sentral pemikirannya.

Ia menolak gagasan bahwa kehidupan manusia dituntun oleh nafsu-nafsu.
Inti perenungannya tentang manusia merupakan lawan terhadap tesis homo homini lupus, yang bergagasan bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus untuk memuaskan hasrat. Kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi untuk meraih kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan. Dan, dengan rasionya manusia dapat belajar dari pengalaman cara-cara paling efektif untuk memperoleh kepuasan dan menghindari kekecewaan. Jadi, kehidupan menurut kodrat manusia adalah sebuah pertempuran.


kepentingan egoisitisnya. Manusia secaara kodrati tidak mencari masyarakat demi masyarakat itu
sendiri, melainkan mencari keuntungan tertentu darinya. Oleh karena itu hubungan-hubungan sosial merupakan produk dari kalkulasi dan persetujuan daripada dorongan. Hubungan-hubungan sosial lebih bersifat eksternal bagi individu daripada merupakan kesepahaman moral bersama.
Pandangan seperti itulah yang ditolak Drijarkara. Bagi Drijarkara, manusia bukan pertentangan antara jiwa dan badan. Manusia adalah pribadi dengan dimensi kejasmanian dan kerohanian, dimana roh mewujudkan refleksi budi dan kesadarannya dengan melalui badan, kejasmanaian merupakan ungkapan roh yang menjelma. Aksi (tindakan) manusia tidak bersifat eksternal, melainkan dari manusia itu sendiri (internal). Manusia sebagai pribadilah yang menentukannya. Dia berdaulat atas dirinya sendiri. Berdaulat tidak merupakan satu bagian tapi keseluruhan. Dalam perbuatannya manusia dapat menjadi baik atau sebaliknya. Dengan kedaulatannya manusia mampu menuju kesempurnaan juga sebaliknya.

Dengan demikian manusia adalah sebuah paradoks. Karena dalamdirinya mengandung dua prinsip: manusia berupa “apa” (jasmani) dan manusia berupa “siapa” (rohani). Karena dua prinsip itulah manusia mengandung oposisi-oposisi dalamdirinya, dia adalah kesatuan dari dua prinsip yang berlawanan.


Oleh karenanya kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus menuju kesempurnaan
(menuju kemutlakan Tuhan). Suatu perjuangan mengatasi paradoks dalam dirinya.
Sumber :www.google.com

3 komentar:

  1. saya comot sedikit ya... trimakasih :)

  1. Homo homini lupus ..
    https://posmusica.wordpress.com/2018/01/19/rusa-yang-sanggup-merubah-aliran-sungai/

  1. Keren

Posting Komentar