- Kasus Pertama : KASUS BERPENDAPAT SEORANG PNS BERUJUNG POLEMIK DAN KONFLIK
Alexander Aan adalah seorang PNS berusia
31 tahun yang bertugas di kantor BAPPEDA , Sumatera Barat. Alex adalah
seorang warga negara Indonesia yang tidak percaya dengan konsep Ketuhanan dan
Agama yang diakui di Indonesia dan secara tegas Alex menyatakan bahwa dirinya
adalah seorang atheis berawal dari bentuk penyampaian pemikiran dan
pendapat pribadinya yang ditulis di status facebooknya, yaitu : “Kalau memang ada Tuhan, mengapa ada kejahatan,
kemiskinan. Saya tak percaya surga serta neraka. Oleh sebab itu, sudah
merupakan premis saya Tuhan itu tidak ada, dan Nabi Muhammad adalah seorang
yang biadab”.
Pernyataan tersebut menjadi sorotan publik dan
mengundang reaksi dari berbagai pihak, yaitu pengguna akun facebook, masyarakat
Minang, kaum ulama,kaum adat dan Aparat kepolisian.Dan tulisan Alex tersebut
menjadi polemik dan konflik, yang kemudian mendapat tanggapan dan begitu banyak
hujatan yang diberikan kepadanya yang semula belum diketahui identitasnya. Perdebatan
di dunia maya tentang Tulisan Alex itu segera menyebar. Sejumlah orang kemudian
berusaha mencari siapa sebenarnya pemilik akun facebook tersebut. Kemudian
dilacak oleh masyarakat, dan akhirnya ditemukan yaitu seorang pegawai PNS yang
bekerja di Pemerintah Daerah, yang ketika ditemukan sedang membuka akun
facebooknya dimana Alex terbukti sedang membuat tulisan yaitu menghujat keberadaan
Allah dengan menjadikan Al-Quran dan kisah Para Nabi sebagai kajian tulisannya.
Akhirnya sekelompok pemuda yang geram membawa Alex
mendatangi Kantor Bupati Dharmasraya. Kemudian mereka terlibat perdebatan,
dimana Alex bersikeras bahwa apa yang dia sampaikan di akun facebooknya
hanyalah merupakan pendapat pribadinya.Mendengar pernyataan tersebut, entah
siapa yang mengkomandoi, pemuda yang ada dalam ruangan langsung memukul Alex
sampai memar lantaran merasa kesal.
Dan MUI Sumatera Barat akhirnya melaporkan Alex
kepada pihak kepolisian, Ketua Majelis Ulama Indonesia cabang Sumatera Barat
menjelaskan bahwa sikap anti Tuhan yang disebarkan pemilik akun Facebook
Alexander ini Bertentangan dengan semua agama. Bahkan,
keyakinan yang dipertahankan Alex tersebut dinilainya tidak cocok berkembang di
Indonesia.Hal tersebut dianggap bertentangan dengan Pancasila, karena
tentunya paham Atheis tidak dapat diterima di
Indonesia.Beliau menyayangkan sikap Alexander yang sebagai orang
minang karena tentu saja ini membawa nama minang, yang menurutnya sendi dasar
agama sudah dirusak apalagi Alex telah menghina Allah,Nabi Muhammad, Al-Quran
didalam Agama Islam, dan itu tidak dapat ditolelir.
Dan Alexander pun ditangkap pihak kepolisian setelah
mendapat serangan dan hampir diamuk masa yang kesal dengan sikapnya dan
akhirnya Alex diamankan di Markas Polsek Pulau Punjung yang kemudian
dipindahkan ke Markas Polres Dharmasraya. Karena statusnya-nya di facebook tersebut, Alexander
kini menghadapi ancaman dijerat dengan Pasal 156a KUHP tentang penistaan Agama,
dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Selain itu, polisi juga menjerat pemilik akun
facebook Alex Aan tersebut dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan terancam pidana
penjara enam tahun serta denda Rp 1 Miliar. Dan Alexpun terancam akan
kehilangan pekerjaannya.
Tetapi Tidak hanya hujatan, Alexpun mendapat
dukungan dan simpati dari para freethinker (Pemikir bebas anak
Negri) di Indonesia dan Freethinker di berbagai penjuru dunia. Salah satunya
adalah sebuah grup Facebook bernama Support Alex Aan’s Human Rights.Ada banyak
pengguna Facebook luar negri dan sejumlah akademisi serta organisasi
internasional yang memberikan support terhadap Aan.
Sementara itu, dukungan lokal juga terbilang
banyak. Sebuah grup Facebook bernama dukung Pembebasan Alex Aan juga memberikan
support yang besar untuk Alex. Mereka menyatakan bahwa sedang menyusun langkah
untuk memberikan tekanan politik kepada RI agar segera membebaskan dan menjamin
keselamatan Alex .
Mereka memberikan pembelaan dengan alasan bahwa tak
satupun warga negara RI yang layak dipenjara hanya karena dia tidak mempercayai
suatu konsep tuhan manapun. Ketidakpercayaan pada konsep Tuhan bukanlah suatu
pelanggaran terhadap hukum terlebih lagi UU pelanggaran seorang atheis di
Indonesia telah dihapuskan jadi menurutnya Alex harus dibebaskan.
Dan Kasus Alex tersebut terus diproses oleh
kepolisian Polres Dhasmaraya, Sumatera Barat.
Kesimpulan :
Jika di lihat dari sudut
pandang etika Profesi TSI, keyakinan hasil pemikirannya yang disampaikan dalam bentuk
suatu tulisan di akun facebooknya yang dianggap sebagai bentuk penghinaan oleh
sebagian pihak. Pendapat yang ditulis oleh beliau di media internet sangatlah
melanggar kode etik karena jelas tulisannya bermakna penghinaan yang melanggar
undang-undang negara dan undang-undang ITE. penjeratan Pasal 156a KUHP tentang
penistaan Agama kepada PNS tersebut sudah tepat karena tindakannya
tersebut jelas melanggar. Kasus Alex telah dilimpahkan ke kejaksaan negeri
dharmasraya, Sumatera barat. Dan Alex telah ditetapkan sebagai tersangka sejak
20 Januari 2011.
- Kasus Kedua: KICAUAN "HOAX" BERUJUNG TUNTUTAN PENJARA
Gara-gara menyebarkan informasi palsu atau hoax melalui situs
mikroblog Twitter, sepasang pria dan wanita di Meksiko dituntut hukuman 30
penjara. Keduanya dianggap telah menebar kepanikan di kalangan penduduk negara
tersebut. Gilberto Martinez Vera (48), guru sekolah swasta,
dan Maria de Jesus Bravo Pagola, seorang presenter radio, dituduh menyebarkan
informasi palsu mengenai adanya sekelompok orang bersenjata yang menyerang
sekolah-sekolah di tenggara Kota Veracruz.
Peristiwa itu terjadi pada Kamis (25/8/2011) pekan
lalu ketika penduduk di kota tersebut berada dalam situasi tegang akibat konvoi
marinir jalan-jalan kota. Warga menduga telah terjadi pertikaian antara tentara
dan geng mafia narkoba seperti terjadi akhir-akhir ini. Dalam situasi itu, Vera melayangkan pesan di akun
Twitter-nya. Kicauan Vera berbunyi, "Kakak iparku bilang ada penculikan
lima anak di sekolah mereka." Ia kembali menuliskan pesan di Twitter dan
memastikan kejadian itu benar meskipun ia tidak tahu kapan peristiwa itu
terjadi. Pesan itu kemudian diteruskan (retweet) oleh Pagola sehingga pengikutnya
(follower) pun panik.
Warga yang mengetahui pesan-pesan di Twitter itu
panik dan berupaya menyelamatkan anak-anak mereka di sekolah. Kepanikan itu
menimbulkan kecelakaan yang melibatkan puluhan mobil di jalan raya. Saluran
telepon darurat juga terhenti karena tak dapat menampung semua arus komunikasi
dari warga yang panik. "Ada 26 kecelakaan mobil, orang-orang
meninggalkan mobil di tengah jalan dan berlari menjemput anak-anak mereka
karena mereka pikir hal itu terjadi di sekolah anak-anak mereka," ujar
Gerardo Buganza, Sekretaris Urusan Dalam Negeri Kota Veracruz kepadaAssociated
Press (AP) seperti dilansir Guardian, Minggu (4/9/2011).
Jaksa menuduh Vera mengirim beberapa pesan tentang
anak-anak sekolah setempat yang disekap oleh pasukan bersenjata. Adapun Pagola
dituduh menyebarkan rumor penculikan tersebut ke jejaring sosial meskipun
Pagola membantah hal tersebut. Kuasa hukum keduanya menyatakan bahwa Vera dan
Pagola hanya menyampaikan informasi yang mereka dapatkan di internet.
Petisi online mulai
beredar untuk menuntut pembebasan Vera dan Pagola dan melibatkan
kelompok-kelompok hak asasi manusia untuk ambil bagian. Amnesti Internasional
mengatakan, para pejabat di Meksiko melanggar kebebasan berekspresi dan
menyalahkan kepanikan warga akibat ketidakpastian keamanan di Meksiko.
Kepanikan ini diakibatkan oleh perang melawan geng narkoba yang telah
menewaskan 35.000 orang dalam waktu lima tahun terakhir.
Kesimpulan :
Jika dilihat dari sudut pandang sisi Etika Profesi TSI, kicauan Gilberto Martinez Vera (48) dan Maria de Jesus Bravo Pagola di twitter yang menyebarkan informasi palsu atau hoax mengenai adanya sekelompok orang bersenjata yang menyerang sekolah-sekolah di tenggara Kota Veracruz yang membuat follower dan warga panik. Kepanikan itu menimbulkan kecelakaan yang melibatkan puluhan mobil di jalan raya. Sepasang pria dan wanita di Meksiko ini akhirnya dituntut hukuman 30 penjara karena dianggap telah menebar kepanikan di kalangan penduduk negara tersebut.