twitter


WE KNOW NOTHING & WE KNOW ALL THINGS
We Know Nothing atau We Know All-Things

Apakah anda tahu apa maksud dari kalimat diatas? Dan kira-kira jika anda disuruh memilih salah satunya, ingin menjadi yang manakah anda? Apakah anda akan memilih “We Know Nothing”, atau “We Know All-Things”? Mungkin setelah saya membahas tentang maksud dari kalimat diatas, anda akan bisa memilih sesuai dengan kepribadian anda. Oke, saya akan bahas kedua-duanya.

Kita mulai dari “We Know Nothing” terlebih dahulu. Apakah anda sudah mengerti arti atau terjemahan dari kalimat diatas? Ya, “We Know Nothing” dapat di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yang artinya adalah kita tidak mengerti apapun. Tetapi selama anda hanya mengerti arti atau terjemahan dari kalimat tersebut, maka saya berani menjamin bahwa anda akan memilih kalimat kedua, yaitu “We Know All-Things”. Karena arti atau terjemahan dari kalimat “We Know All-Things” adalah kita tahu segalanya. Saya tidak menyalahkan anda jika anda memilih kalimat yang kedua. Karena dari segi logikapun, saya beranggapan bahwa kita tidak mungkin bertahan hidup jika kita tidak mengerti dan megetahui apapun. Jika kita tidak tahu dan tidak mengerti apapun, lalu apa yang kita pelajari selama masa hidup kita yang lamanya bisa mencapai belasan tahun, dan bahkan hingga puluhan tahun?

“We Know Nothing” memang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yang artinya kita tidak mengetahui apapun. Tetapi disini saya tidak hanya membahas tentang arti dan terjemahan kalimat, melainkan saya akan membahas tentang maksud atau makan dari kalimat itu sendiri. Sebelum saya membahas makna dari kalimat tersebut, apakah anda pernah membayangkan jika anda menjadi seseorang yang berpikiran bahwa anda adalah seseorang yang tidak mengetahui apapun? Maka kira-kira apakah yang akan terjadi dengan orang-orang serta lingkungan di sekitar anda?

Sebagai contoh, jika anda adalah seorang pelajar atau seorang mahasiswa yang berpikiran bahwa anda adalah orang yang tidak mengetahui apapun, maka anda akan bertanya dan mencari tahu tentang hal-hal yang anda tidak mengerti. Entah anda bertanya kepada guru ataupun bertanya kepada teman. Dalam proses bertanya tersebut, secara tidak kita sadari kita telah melakukan sebuah interaksi kepada orang yang kita tanyai. Meskipun anda bertanya hanya dengan melalui tulisan yang kemudian anda berikan kepada teman anda, pasti teman anda akan merespon pertanyaan anda. Entah merespon tulisan anda dengan tulisan, merespon dengan suara atau teriakan, atau bisa jadi teman anda tersebut merespon anda melalui ekspresinya.

Oke, sekarang saya akan kembali ke persoalan makna dari kalimat “We Know Nothing”. Menurut pendapat saya, kita sebagai manusia tidak akan mungkin mengetahui apalagi mengerti segala sesuatu yang ada dan tidak ada. Jika ada manusia yang mengetahui apalagi mengerti segalanya, maka ia bisa dan pantas disebut sebagai Tuhan. Kita adalah manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, tetapi tidak ada satupun manusia yang sempurna di muka bumi ini. Saya akan memberikan sebuah perumpamaan. Anda pastinya mengetahui apa itu bumi kan? Arti sederhana dari bumi adalah planet dimana didalamnya terdapat air, oksigen, dan kehidupan. Bumi juga dapat diartikan sebagai tempat tinggal manusia. Anda tahu seberapa besar bumi itu? Bumi memiliki jari-jari sepanjang 6263 Km. Berarti dapat kita hitung bahwa keliling bumi kurang-lebih berkisar antara 3.14 x 2 x 6263 = 39331.64 Km (mendekati). Dan luas dari bumi itu sendiri adalah 3.14 x 6263 x 6263 = 123167030.66 Km2 (mendekati). Anda bisa bayangkan, betapa luasnya bumi kita. Tapi apakah anda tahu seberapa besar bumi jika dipandang di mata Tuhan?




Bumi itu hanyalah bagaikan sebuah titik dimata Tuhan. Manusia hidup di bumi, berarti manusia seharusnya terlihat seperti partikel-partikel elektron yang lebih kecil dari titik. Anda tahu seberapa besar partikel elektron? Partikel tersebut hanya memiliki massa atau berat sebesar 1,6 x 10-19 C. Lalu bagaimana pengetahuan dan ilmu yang adanya di otak manusia? Jika sebelumnya saya mengatakan bahwa manusia itu sebagai partikel-partikel elektron yang sangat kecil, berarti seharusnya pengetahuan serta ilmu manusia itu lebih kecil dari partikel-partikel elektron. Adakah partikel yang besarnya lebih kecil dari partikel elektron? Saya rasa partikel tersebut tidak akan ada, atau setidaknya belum ditemukan. Anda bisa bayangkan sendiri, bahwa pengetahuan kita hanya dapat dibandingkan dengan partikel yang lebih kecil dari elektron. Oleh karena itu, tidak ada manusia yang sempurna. Anda tahu istilah Nobody is Perfect? Saya pribadi membenarkan kalimat tersebut seratus persen. Karena segala sesuatu yang sempurna hanya berasal dari Tuhan, saya kira kita sebagai manusia lebih pantas jika kita disebut makhluk yang tidak mengetahui apapun.

Jika anda beranggapan jika anda tidak mengetahui apapun, maka anda pasti akan lebih pintar dari orang yang beranggapan bahwa dirinya telah mengetahui segalanya. Paling tidak, anda akan menemui hal-hal yang baru. Meskipun hal-hal tersebut masih hanya berupa pengetahuan, dan belum berupa ilmu. Bagaimana tidak? Kita sebagai manusia memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Saya akan memberikan sebuah ilustrasi yang dapat menggambarkan pernyataan saya tentang kalimat saya yang berbunyi “jika anda beranggapan bahwa diri anda adalah orang yang tidak mengetahui apapun, anda pasti akan lebih pintar dari orang yang beranggapan bahwa dirinya telah mengetahui segalanya”.




Ketika anda bergaul dengan suatu kelompok, maka anda pastinya akan membicarakan tentang suatu hal yang sama. Katakanlah anda sedang bergaul dengan kelompok atau orang-orang yang menyukai berita-berita infotainment, atau biasa kita sebut dengan gossip. Mau atau tidak, anda pasti akan membicarakan hal atau sesuatu yang sejenis. Bisa jadi anda yang tadinya tidak mengerti apa-apa tentang gossip, atau anda bisa disebut dengan orang yang “nggak up-to-date”, anda pasti akan mencari tahu tentang gossip-gossip terbaru. Entah begitu anda bergaul dengan orang-orang tersebut dan anda langsung mencari tahu tentang gossip-gossip terbaru, atau bisa jadi anda mencari tahu tentang gossip tetapi secara perlahan-lahan. Pada dasarnya, anda akan mencari tahu tentang suatu hal yang tadinya tidak anda ketahui. Dalam kasus ini, anda yang tadinya tidak tahu apa-apa tentang gossip, anda jadi mengetahui gossip-gossip yang baru. Hal ini bisa saja dilakukan oleh anda, mungkin karena anda tidak ingin dibilang ketinggalan oleh teman-teman kelompok anda tersebut, atau anda memang ingin tahu dan mengerti seperti apa itu gossip. Oke, seandainya saja anda mencari tahu tentang gossip-gossip terbaru hanya karena anda tidak ingin dibilang “nggak up-to-date” oleh yang lainnya. Tetapi saya yakin, dalam proses pencarian gossip-gossip terbaru tersebut, anda akan mengetahui sesuatu yang baru bagi anda. Meskipun anda tidak ingin tahu dan tidak ingin mengerti tentang apa isi dari gossip tersebut, tetapi paling tidak anda bisa lebih tahu siapa, atau apa yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Dan hal tersebut sudah bisa dianggap sebagai pengetahuan, tetapi memang hal tersebut bukanlah sebuah ilmu.







Sebenarnya kalimat “We Know Nothing” juga tidak dapat dibenarkan secara seratus persen. Kalimat ini bisa menimbulkan keragu-raguan bagi orang yang membacanya. Apakah mungkin bila ilmuwan terkenal seperti Albert Einstein dan Thomas Alpha Edison dapat kita katakana sebagai orang yang tidak mengerti apapun? Bila mereka tidak mengerti apapun, bagaimana mereka bisa menciptakan rumus-rumus perhitungan matematika dan fisika, bom atom yang ledakannya sangat dahsyat, mesin uap pertama kalinya, serta listrik yang kita gumakan sampai saat ini? Dan yang lebih parahnya lagi, bila orang-orang seperti mereka saja masih dianggap sebagai orang yang tidak mengetahui apapun, maka bagaimana dengan kita yang hanya bisa diam?

Mungkin setelah anda membaca pendapat saya tentang kalimat “We Know Nothing”, anda akan berpikir bahwa kalimat “We Know All-Things” adalah kalimat yang tidak pantas diucapkan oleh makhluk ciptaan Tuhan.

“We Know All-Things” memang tidak pantas diucapkan oleh makhluk ciptaan Tuhan. “We Know All-Things” dapat diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia yang berarti kita mengetahui segala hal. Bagaimana kedengarannya, agak sombong bukan?

Tetapi seperti yang telah saya katakana sebekumnya, “bila seseorang tidak mengetahui apapun, saya yakin orang tersebut tidak bisa bertahan hidup”. Bagaimana tidak? Sebagai contoh, seseorang tidak mengerti apa itu haus. Dia tidak mengerti apa itu haus, apalagi bagaimana caranya agar orang tersebut tidak mati kehausan? Sama halnya seperti ayam dengan telur. Jika ayam saja tidak mengerti darimana telur itu berasal, bagaimana bisa ayam tersebut bisa mengetahui dirinya sendiri berasal dari telur?



Kita kembali ke dampak sosial, karena pada dasarnya tulisan ini saya tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu social dasar. Pernahkah anda memperhatikan atau paling tidak melihat orang yang sombong? Sedikit atau banyak, mereka pasti tidak disenangi oleh orang lain, kemudian orang itu pasti akan dijauhi atau dikucilkan dari lingkungan sekitarnya. Sama halnya ketika anda berpikiran bahwa anda adalah orang yang mengetahui segala hal. Kenapa saya bisa berkata demikian? Saya akan berikan sebuah cerita atau ilustrasi kepada anda.

Misalnya saja anda memiliki seorang teman yang memang sudah ditakdirkan untuk tahu segalanya (atau paling tidak teman anda tersebut menganggap bahwa dirinya sudah mengetahui segala hal). Ketika anda memberikan berita, pengumuman, gossip, kabar, atau informasi kepadanya, maka apa yang akan terjadi? Maka dengan entengnya teman anda menjawab, “Saya udah tau kok”. Setiap anda memberikan informasi atau berita yang anda anggap paling baru, teman anda selalu memberikan jawaban seperti itu. Kira-kira, apakah anda senang diperlakukan seperti itu? Saya rasa tidak! Malahan anda bisa-bisa jadi membenci teman anda tersebut. Jika terjadi hal seperti ini, maka teman anda tersebut bisa dibilang gagal berinteraksi dengan lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Proses interaksi antar manusia yang paling sederhana menurut saya adalah bertanya dan menjawab. Jika anda belum ditanya tetapi sudah tahu jawaban dari pertanyaan tersebut, akankah interaksi sosial bisa terjadi?

“We Know All-Things” berarti bahwa kita tahu segalanya. Berarti jika kita beranggapan bahwa kita mengetahui segalanya, akankah kita belajar? Dan masihkah kita mencari tahu tentang suatu hal? Dua hal tersebut tidak akan pernah terjadi jika kita berpikiran bahwa kita adalah orang yang mengetahui segalanya. Untuk apa susah-susah belajar dan mencari tahu jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada? Toh kita sudah memiliki dan mengetahui jawabannya.
Dan menurut saya, sebagai makhluk sosial, kita tidak boleh memandang orang lain itu seakan-akan lebih rendah dari kita. Entah kita memandang ilmunya, derajatnya, hartanya, atau apapun yang ada pada dirinya. Karena segala hal yang ada pada diri kita adalah milik Tuhan yang menciptakan kita. Jika anda memandang rendah suatu hal yang ada pada diri orang lain, berarti secara tidak langsung, maka anda memandang rendah ciptaan Tuhan. Anda bisa membayangkan, jika anda memiliki teman yang selalu menganggap rendah orang-orang disekitarnya. Senangkah anda berteman dengan orang seperti itu? Orang yang beranggapan bahwa dirinya telah mengetahui segala hal, maka orang tersebut pasti lambat laun akan menjadi orang yang sombong. Bagaimana tidak? Dia beranggapan bahwa dia sudah mengetahui segala hal, maka orang tersebut akan berpikir bahwa dirinya adalah orang yang paling pintar yang pernah ada. Padahal, di mata Tuhan, orang tersebut tidak ada apa-apanya. Tuhan memandang tinggi makhluk yang bertaqwa kepadanya, bukan makhluk yang paling pintar ataupun makhluk yang paling kaya. Untuk apa anda diberikan kepintaran dan pengetahuan oleh Tuhan, yang ujung-ujungnya hanya dipakai untuk menyombongkan diri sendiri?

Semua yang saya tulis disini hanyalah pendapat dan logika saya pribadi. Saya tidak bermaksud memprovokasi anda untuk menyetujui kalimat atau slogan “We Know Nothing”. Saya hanya berpendapat bahwa kita sebagai manusia, sangat-sangat tidak pantas jika kita menyebut diri kita sebagai makhluk yang mengetahui apapun. Coba anda bayangkan jika kita mengetahui waktu kematian kita sendiri. Apakah hal itu tidak membuat anda takut? Dan yang lebih mengerikan lagi, anda bisa mengetahui takdir anda ketika di alam akhirat. Jika anda mengetahui bahwa anda akan memasuki surga ketika di alam akhirat nanti, tentunya anda akan senang sekali bukan? Tetapi jika seandainya anda akan memasuki neraka di alam akhirat nanti, apakah anda akan senang? Saya pikir tidak akan ada orang yang senang ketika orang tersebut mengetahui bahwa dirinya nanti akan dimasukkan ke neraka oleh Tuhannya.

Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, “manusia memang makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, tetapi tidak ada satupun manusia yang sempurna di muka bumi ini”.
Apa yang anda semua ketahui tentang maksud kalimat di atas ?
Dan termasuk golongan yang mana kita sekarang ini ?

We know nothing dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti " kita tidak mengetahui apa - apa " . Tetapi apabila kita hanya menterjemahkan kata - kata itu ke dalam bahasa Indonesia maka kita tidak akan menemukan arti apapun .
Dan kita semua pasti nya akan memilih " we know all thing " daripada " we know nothing " karena bila di terjemahkan arti dari we know all things adalah kita " kita mengetahui semua nya " .
Orang yang memilih we know all things ataupun we know nothing tidak dapat disalahkan karena cara pandang tiap orangnya pasti berbeda satu dengan yang lainnya .

We know nothing memang merupakan kata - kata dalam bahasa inggris yang bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia . Tetapi disini tidak dipertanyakan mengenai terjemahan dari kata - kata tersebut .
Yang akan dibahas adalah makna yang ada di dalam kata - kata itu sendiri .

Bumi itu hanya bagaikan sebuah titik di mata Tuhan . Semua manusia hidup di bumi berarti manusia seharusnya terlihat lebih kecil dibandingkan bumi yang hanya di gambarkan sebagai sebuah titik . Kira - kira seperti partikel - partikel elektron yang memiliki massa dan berat sebesar 1,6 x 10'9 C .
Manusia tidak mungkin mengetahui semua yang ada di dunia ini .
Oleh karena semua manusia tidak ada yang sempurna , hanya Tuhan yang mengetahui segala sesuatunya dan dapat melakukan yang manusia tidak dapat lakukan .

Sebenarnya kalimat we know nothing juga tidak dapat dibenarkan begitu saja . Kalimat ini pastinya masi menimbulkan banyak keraguan bagi yang membacanya .
Apa mungkin para ilmuan yang terkenal pintar seperti Albert Einstein dan Thomas Alpha Edison dikatakan sebagai orang yang tidak tahu apa - apa ? Bila mereka tidak tahu apa - apa bagaimana mungkin mereka bisa menciptakan rumus - rumus perhitungan matematika dan fisika , bom atom yang ledakannya bisa sangat dahsyat , mesin uap , juga listrik yang selalu kita gunakan dati dulu sampai saat ini .
Dan yang anehnya bila orang seperti mereka dikatakan tidak mengerti apa - apa , lalu bagaimana dengan orang seperti kita ?

We know all things apabila di artikan berarti kita tahu segalanya .
Apabila kita merasa semua hal sudah kita ketahui maka kita tidak akan berusaha untuk belajar dan mencari tahu tentang hal lainnya . Dari situ kita akan menjadi orang yang sombong dan menganggap semua orang rendah dimata kita .

We know nothing is better than we know all thing .
Mengapa demikian ? Bukankah mengetahui segala hal jauh lebih baik daripada tidak mengetahui hal apapun ?

Mungkin kita pernah mendengar pepatah yang berbunyi “ manusia tidak pernah puas dengan hal yang sudah dimilikinya “ , saya dapat menangkap pepatah ini dalam dua pengertian yaitu pengertian positif dan juga pengertian negatif . Dikatakan negatif karena terkadang dalam kehidupan ekonominya manusia tidak pernah puas akan apa yang telah dimilikinya dan dia terus menerus mencoba mendapatkan yang lebih , melebihi apa yang sudah menjadi batas kemampuannya . Hal tersebut membuat hidupnya bersifat konsumtif bukannya produktif . Padahal di luar sana banyak orang yang memiliki kehidupan ekonomi yang pas – pasan atau bahkan kurang tetapi meraka tetap bersyukur .

Dapat juga dikatakan positif karena manusia tidak pernah merasa puas akan ilmu pengetahuan , infformasi , dan sebagainya yang telah dimilikinya sehingga manusia akan terus dan terus belajar dalam hidupnya . Inilah maksud dari “ we know nothing “ . Sebagai manusia , terus belajar dan menggali ilmu sedalam – dalamnya merupakan hak dari tiap individu . Dalam menggali ilmu pendidikan biasanya pikiran kita akan langsung tertuju tentang sekolah atau perguruan tinggi . Padahal dalam menggali ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi dua macam . Yaitu secara formal dan non formal .

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur jelas dan berjenjang . Terdiri atas pendidikan usia dini ( taman kanak – kanak ) , pendidikan dasar ( SD ) , pendidikan menengah pertama ( SMP ) , pendidikan menengah atas ( SMA ) , pendidikan menengah kejuruan ( SMK ) , dan yang terakhir pendidikan tinggi ( universitas , akademi , politeknik atau institut ) .

Pendidikan non formal adalah pendidikan diluar hal yang telah disebutkan dalam pendidikan formal tersebut . Pendidikan non formal biasanya banyak tersedia pada usia dini serta saat pendidikan dasar . Seperti TPA atau Taman Pendidikan Al – Quran yang biasanya terdapat di setiap mesjid . Atau ada juga kegiatan sekolah minggu yang banyak disediakan di gereja – gereja . Selain itu ada juga berbagai macam kursus . Diantaranya kursus musik , bimbingan belajar , dan lain sebagainya .
Dalam dunia yang akan terus berkembang tentunya kita dituntut untuk terus menerus belajar dan menggali informasi sebanyak – banyaknya . Banyak cara yang dapat dilakukan dalam menggali informasi baik dengan cara membaca , bergaul dengan banyak orang , bermain , dan sebagainya . Dari situ kita bisa mendapatkan informasi bahkan belajar banyak hal yang sebelumnya tidak kita ketahui . Kita harus membuka mata dan telinga akan apa yang berada di sekitar kita karena apa yang kita dapatkan di sekolah maupun perkuliahan tidak aka nada artinya jika tidak diaplikasikan di masyarakat .

Di era globalisasi ini setiap individu memang di tuntut untuk bisa lebih kreatif . Kekreatifan itu tentunya bisa didapatkan dengan bergaul dengan masyarakat luas . Orang yang menutup mata dan telinganya atau tidak mau tahu tidak akan pernah bisa berkembang . Maksudnya menutup mata dan telinga disini adalah tidak mau mencari tahu informasi dan pelajaran dari lingkungan sekitarnya , baik itu dalam dunia nyata maupun dunia maya .

Belajar untuk hidup dan hidup untuk belajar adalah kata – kata yang mempunyai makna yang intinya kita sebagai manusia yang mempunyai akal pikiran akan terus belajar karena ilmu itu tidak ada habisnya .
Seperti pepatah kuno , spintar - pintarnya ilmu manusia hanya bagaikan setitik air di lautan yang luas . Begitu luasnya ilmu pengetahuan yang ada sehingga otak kita yang kecil tidak mampu untuk menampung semuanya .

Tanpa belajar orang tidak akan mungkin bisa hidup . Orang yang tanpa ilmu tentu saja sangat tidak berguna dan tentu tidak berharga .
Nilai jual kita juga ditentukan dari ilmu dan kemampuan yang kita miliki . Nilai jual yang dimaksud disini adalah harga kita atau berapa kita akan dibayar oleh suatu perusahaan tempat kita bekerja . Semakin tinggi ilmu yang kita miliki maka semakin dibutuhkannya kita dan semakin tinggi gaji yang akan kita dapatkan nantinya .

Untuk mau belajar tentu harus memiliki mootivasi tertentu . Belajar haruslah berdasarkan niat dari diri setiap individu itu sendiri . Dengan adanya niat yang kuat akan muncul suatu motivasi untuk belajar dan belajar akan semakin mengasyikan . Belaajar yang monoton lama – lama akan menimbulkan suatu kejenuhan . Hal inilah yang banyak terjadi pada pendidikan di Indonesia . Begitu banyaknya tuntutan kepada murid , baik itu berupa tugas maupun materi pada kurikulum yang padat dan berubah – ubah . Situasi seperti itulah yang membuat murid – murid banyak yang stress dan terbebani dalam belajar . Akibatnya hal tersebut merubah perilaku para murid , mereka jadi sering bolos sekolah , dan melakukan hal – hal yang tidak baik lainnya .

Mungkin benar bila dikatakan belajar itu tidak boleh enaknya saja , namun seharusnya ada variasi dalam system belajar agar system pendidikan itu lebih efektif . Kita ambil contoh Negara Jepang , berikut ini adalah contoh cerita di sekolah menengah atas ternama di negeri matahari tersebut :

SMA Nakamura merupakan sekolah dengan level menengah ke atas . SMA Nakamura berdiri pada tahun 1953 dan sama halnya seperti sekolah – sekolah lainnya di Jepang , sekolah itu memiliki fasilitas sekolah yang tergolong lengkap . SMA Nakamura adalah sekolah yang menganut system full time course dengan hari belajar dari senin hingga hari jumat . Sekolah itu bertujuan untuk mengarahkan lulusannya melanjutkan ke PT . Ada 935 siswa yang sedang belajar di SMA Nakamura , terdiri dari 8 kelas untuk masing – masing tingkatan . Masing – masing kelas terdiri dari sekitar 40 orang siswa . Mereka semua diajar oleh 61 guru tetap dan 19 guru honorer . Sebagaimana SMA lainnya di Jepang , jam pelajaran pertama dimulai pada pukul 8.45 dan berakhir pada pukul 15.15 . Ada 31 jam pelajaran selama 5 hari belajar , masing – masing hari ada 6 jam kecuali hari rabu terdapat 7 jam pelajaran . Satu jam pelajaran lamanya sekitar 50 menit .

Salah satu ciri khas SMA Nakamura adalah adanya reading session yang diselenggarakan untuk siswa – siswi kelas 1 dan juga 2 . Pada kegiatan ini masing – masing kelas dianjurkan untuk memilih satu buku yang akan didiskusikan bersama di dalam kelas . Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang luas dan saling pengertian antar siswanya dalam hal mengeluarkan pendapat dan mengapresiasi pendapat dari orang lain .

SMA Nakamura jugga telah menjalin program Sister School dengan Melbourne Girl School di Australia . Juga mengikutkan siswanya dalam program Summer Camp di US . Beban biaya program pertukaran siswa ditanggung sepenuhnya oleh orang tua murid dan program ini merupakan program yang ditawarkan kepada siswa nya sendiri . Tampaknya hal ini berlaku di semua sekolah , bahwa kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar bebannya dilimpahkan sepenuhnya kepada orang tua siswa itu sendiri . Oleh sebab itu secara otomatis program tersebut hanya dapat diikuti oleh keluarga dengan ekonomi yang memadai atau lebih .

SMA Nakamura juga mengundang mahasiswa asing yang sedang belajar di berbagai universitas di Nagoya untuk memberikan informasi tentang negaranya kepada siswa – siswa melalui program pertukaran budaya . Dalam kaiatannya dengan upaya mengenalkan siswa kepada kehidupan pasca SMA , diadakan juga program Nakamura Mirai Juku yang melibatkan alumni SMA Nakamura untuk memberikan pelajaran tentang bidang kuliahnya masing – masing .

Begitu beragamnya kegiatan belajar mengajar di negara Jepang sehingga membuat siswanya tidak merasa jenuh dala kegiatan belajar . Hal tersebut sangat berbeda dengan kegiatan belajar di Negara kita Indonesia yang cenderung itu – itu saja dan tidak bervariasi .

Kita telah membahas apa maksud dari “ we know nothing “ , dan belajar adalah kata kuncinya . Lalu bagaimana dengan “ we know all thing “ . Mengapa mengetahui segala hal tidak jauh lebih baik daripada mempelajari berbagai macam hal ? Mengetahui berbagai macam hal adalah hal yang didambakan oleh setiap orang . Karena dengan begitu menandakan orang yang cerdas , pandai , berwawasan luas , dan sebagainya . Tetapi terkadang orang yang sudah mengetahui segala macam hal akan menjadi sombong dan tidak mau mendengarkan orang lain di sekitarnya karena dia merasa dirinya telah mencapai titik puncak dari suatu ilmu pengetahuan . Padahal ilmu pengetahuan itu tidak ada batas nya , ilmu pengetahuan akan terus bertambah seiring jalannya waktu .

Orang yang berfikiran “ we know nothing “ akan terus berkembang dibandingkan dengan orang yang menganggap dirinya “ we know all thing “

“ Jika kau hanya melakukan apa yang kau tahu bisa kau kerjakan , kau tidak akan bisa berbuat lebih “ – Tom Krause ( 1934 )

Kalimat itu jelas menggambarkan jika kita hanya melakukan apa yang kita bisa dan kita ketahui saja maka kita tidak akan mendapatkan hal yang baru dan hal yang berguna lainnya yang belum kita ketahui . Mencoba hal baru adalah hal yang dianjurkan dalam quotes ini , karena dengan mencoba hhal baru dan belum pernah kita lakukan maka akan memberikan pengetahuan baru yang tentunya akan berguna bagi masa depan kita nantinya . Seperti yang kita tahu pengalaman adalah guru yang paling baik , maka dari itu dengan mencoba berbagai hhal kita akan mendapatkan pengalaman – pengalaman yang akan membuat kita semakin pintar dan semakin matang .


JANGAN TAKUT GAGAL

Bill Gates adalah orang terkaya di dunia selama 14 tahun berturut – turut . Kekayaan nya pada tahun 2009 mencapai US $ 58 milyar atau bisa dikatakan lebih besar dari cadangan devisa Negara Indonesia . Tapi apakah ia tidak pernah mengalami kegagalan ?

Banyak orang yang membicarakan tentang keberhasilannya , padahal ia juga mengalami banyak kegagalan di antara nya adalah :
- Pada tahun 1998 – 2001 Bill Gates meluncurkan Auto PC untuk merevolusi hiburan dalam mobil . Namun mobil – mobil sudah dilengkapi dengan berbagai macam CD – Player , GPS , dan sebagainya sehingga produknya tidak diminati .
- Pada 1995 – 1996 Bill Gates meluncurkan program BOB namun sayangnya program tersebut membutuhkan kinerja lebih banyak dari yang dimiliki oleh kebanyakan computer yang ada pada masa itu dan pasar pun tidak menerimanya .
- Pada tahun 1991 Bill Gates merancang program CAIRO dan setelah menghabiskan banyak uang dan waktu akhirnya CAIRO dibatalkan .
- Bill Gates membuat sebuah took music online MSN music pada tahun 2004 kemudian gagal lalu dibuat lagi UGRE pada tahun 2006 dan kemudian gagal juga .
- Program origami / UMPC yang dirilis pada tahun 2006 juga pernah gagal dipasarkan .

Bill Gates menunjukkan orang yang berkali – kali gagal saja bisa menjadi orang terkaya di dunia . Kegagalan dan kesuksesan terkadang berjalan secara pararel . Kita bisa mengalami kegagalan dan keberhasilan dalam waktu yang bersamaan .

Orang sukses adalah orang yang mampu bangkit dari kegagalan , bukannya orang yang tidak pernah mengalami kegagalan sama sekali . Kebanyakan orang sukses memang seperti itu , meski tidak semua orang sukses melalui jalan penderitaan dan kegagalan . Meskipun demikian kesuksesan sebuah usaha membutuhkan perjuangan yang tidak pernah mengenal lelah .

Manusia yang bodoh itu dapat menjadi pandai , yang lambat dapat menjadi cerdik dan ternyata semua itu dapat dihasilkan dari belajar dan berusaha . Harus kita sadari bahwa perubahan itu bisa terjadi dipengaruhi dari mental models dalam diri kita masing - masing . Ada orang yang tidak berani mengemukakan ide dan gagasannya , walaupun sebenarnya ia mempunyai banyak pengalaman yang mungkin orang lain tidak memiliki itu . Sehingga seolah - olah ia menjadi orang yang terbelakang .

Karena mental models tiap orang berbeda dengan orang lainnya maka harus diupayakan dengan menyamakan persepsi sehingga bisa berubah menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lainnya .
Ide atau gagasan yang dimunculkan akan bisa diperbaiki atau dilengkapi oleh orang lainnya sehingga dikemudian hari bisa di aplikasikan dan diimplementasikan dengan baik .
Tuhan telah membentuk otak manusia dalam dua bagian , yaitu otak kiri dan otak kanan . Kedua fungsi otak ini harus sama - sama terlatih secara seimbang supaya mampu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya dan juga dapat mengungkapkannnya perasaannya . Sehingga ada kesamaan dengan apa yang dikatakan dan juga dipikirkan .

Setiap orang yang mengungkapkan ide , gagasan atau melakukan suati tindakan juga dipengaruhi oleh paradigma yang ada dalam dirinya . menurut Prof. Dr. Mustopadidjaja, MPIA paradigma sebagai suatu teori dasar atau cara pandang yang fundamental , dengan dilandasi nilai - nilai tertentu , dan berisi teori pokok , konsep , asumsi metodologi atau cara pendekatan para teoritisi dan prkatisi dalam menanggapi suatu permasalahan baik dalam kaitannnya sebagai pengembangan ilmu maupun dalam upaya pemecahan masalah bagi kemajuan hidup manusia itu sendiri .

Dalam era global ini orang cenderung mengadopsi teori asing . Kalu tidak berbicara berdasarkan teori barat seakan - akan teori itu dianggap tidak ilmiah atau orang itu dianggap berfikiran mundur .
Padahal kita sebagai bangsa Indonesia yang tinggal di wilayah Indonesia ini harus bangga dengan teori lokal yang masi bisa digali lagi dan mampu menjadi daya ungkit untuk melakukan berbagai macam perbaikan , yang penting adalah persepsi yang sama dalam menggunakan teori .
Sebaik apapun teori itu dihapal apabila tidak mampu mengasumsikan dan merefleksikan dengan baik sesuai dengan lingkungan sekitar maka teori itu tidak akan berfungsi .

- Sukses itu berawal dari mimpi
- Sukses itu selalu bermula dari proses belajar
- Sukses itu pengembangan diri . Tiada kesuksesan tanpa melalui proses yang panjang .
- Sukses itu adalah proses bukanlah sebuah hasilnya saja
- Sukses itu sebuah perjalanan bukan sebuah tujuan
- Sukses adalah penggunaan secara maksimal segenap potensi , bakat serta kemampuan
- Sukses itu cukup sedikit di atas rata - rata

Orang yang mau belajar adalah orang yang tergolong dalam " we know nothing " karena ia mau terus berusaha tanpa takut gagal dan terus belajar dari kegagalannya yang terdahulu demi menjadi orang yang lebih baik dan orang yang sukses .


ILMU DAN PENGETAHUAN


ILMU DAN PENGETAHUAN


Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia [1]. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya[2].
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat.
Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm"[3] yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain sebagainya.
Syarat-syarat Ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu[4]. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180ยบ. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu


Ada orang yang menamakannya ilmu, ada yang menamainya ilmu pengetahuan, dan pula ada yang menyebutnya sains. Keberagaman istilah tersebut adalah suatu usaha untuk melahirkan padanan (meng-Indonesiakan) kata science yang asalnya dari bahasa Inggris. Pengertian yang terkandung dibalik kata-kata yang berbeda tersebut ternyata juga tidak kalah serba ragamnya. Keserbaragamannya bahkan kadang-kadang seolah-olah mengingkari citra ilmu pengetahuan itu sendiri yang pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan sesuatu dengan tepat, tunggal dan tidak bias.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, ilmu artinya adalah pengetahuan atau kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan lainnya. Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu, maka tampak dengan jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur, ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya.
Kata ilmu sudah digunakan masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Di Indonesia, bahkan sebelum ada kata ilmu sudah dikenal kata-kata lain yang maksudnya sama, misalnya kepandaian, kecakapan, pengetahuan, ajaran, kawruh, pangrawuh, kawikihan, jnana, widya, parujnana, dan lain-lain. Sejak lebih dari seribu tahun yang lampau nenek moyang bangsa kita telah menghasilkan banyak macam ilmu, contohnya kalpasastra (ilmu farmasi), supakasastra (ilmu tataboga), jyotisa (ilmu perbintangan), wedastra (ilmu olah senjata), yudanegara atau niti (ilmu politik), wagmika (ilmu pidato), sandisutra (sexiology), dharmawidi (ilmu keadilan), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Ada yang mencoba membedakan antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Pengetahuan diartikan hanyalah sekadar “tahu”, yaitu hasil tahu dari usaha manusia untuk menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa batu, apa gunung, apa air, dan sebagainya. Sedangkan ilmu bukan hanya sekadar dapat menjawab “apa” tetapi akan dapat menjawab “mengapa” dan “bagaimana” (why dan how)., misalnya mengapa batu banyak macamnya, mengapa gunung dapat meletus, mengapa es mengapung dalam air.

Pengetahuan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi ilmu apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu obyek kajian, metoda pendekatan dan bersifat universal. Tidak selamanya fenomena yang ada di alam ini dapat dijawab dengan ilmu, atau setidaknya banyak pada awalnya ilmu tidak dapat menjawabnya. Hal tersebut disebabkan ilmu yang dimaksud dalam terminologi di sini mensyaratkan adanya fakta-fakta.

Filsafat adalah suatu ilmu yang kajiannya tidak hanya terbatas pada fakta-fakta saja melainkan sampai jauh diluar fakta hingga batas kemampuan logika manusia. Batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia (munkin juga pertanyaan-pertanyaannya terus dilakukan sampai never ending)..
Sementara ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dasarnya bukanlah ilmu, tetapi suatu usaha manusia untuk memuaskan dirinya selagi suatu fenomena tidak / belum dapat dijelaskan secara keilmuan. Sebagai contoh dulu orang percaya bahwa orang yang sakit lantaran diganggu dedemit, meletusnya gunungapi adalah akibat dewa penguasa gunung tersebut murka, gempabumi terjadi karena Atlas dewa yang menyangga bumi “gagaro lantaran ateul bujur”, dan masih banyak lagi.


Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003).
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar, 2005).
Definisi Ilmu Pengetahuan
Membicarakan masalah ilmu pengetahuan beserta definisinya ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan dengan mengadakan penggolongan (klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara mengatakan ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005 diantaranya adalah :
Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.
Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika .... maka “.
Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.
Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
Objek Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut.
Objek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkrit misalnya manusia,tumbuhan, batu ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang yang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda (Mudhofir, 2005).
Dasar Ilmu
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan yaitu asumsi pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan (Supriyanto, 2003).
Epistemologi atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini (Bakhtiar, 2005).
Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Prosedur Pencarian Ilmu
Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan adalah sebagai suatu aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia. Ilmu menganut pola tertentu dan tidak terjadi secara kebetulan. Ilmu tidak saja melibatkan aktivitas tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas, sehingga dengan demikian merupakan suatu proses. Proses dalam rangkaian aktivitas ini bersifat intelektual, dan mengarah pada tujuan-tujuan tertentu.
Disamping ilmu sebagai suatu aktivitas, ilmu juga sebagai suatu produk. Dalam hal ini ilmu dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang merupakan hasil berpikir manusia. Ke dua ciri dasar ilmu yaitu ujud aktivitas manusia dan hasil aktivitas tersebut, merupakan sisi yang tidak terpisahkan dari ciri ketiga yang dimiliki ilmu yaitu sebagai suatu metode.
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Perkembangan ilmu sekarang ini dilakukan dalam ujud eksperimen. Eksperimentasi ilmu kealaman mampu menjangkau objek potensi-potensi alam yang semula sulit diamati (Tjahyadi, 2005).
Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi. Metode siklus-empirik mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan (Soeprapto, 2003).
www.google.com
Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam). --Mohammad Hatta—

Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
-------Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia ------- Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan -suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."
--Harsojo, Guru Besar Antropolog, Universitas Pajajaran—
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat hal itu melalui metode yang digunakannya.
Sifat-sifat ilmu
Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
Berdiri secara satu kesatuan,
Tersusun secara sistematis,
Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data),
Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami maknanya.
Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang dari sebelumnya.


Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab, definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.
Mengapa ilmu hadir?
Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi ilmu.
Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.
Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?
Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.
Cambridge-Dictionary 1995
Ilmu Pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar, mempunyai objek dan tujuan tertentu dengan sistim, met ode untuk berkembang serta berlaku universal yang dapat diuji kebenarannya.
www.Google.com




Definisi Pengetahuan ( knowledge )
Ada beberapa pengertian tentang Pengetahuan diantaranya yaitu :
Pengertian 1 (satu) :Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau
disadari oleh seseorang.
Pengertian 2 (dua) :Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan inderawi.
Dari definisi di atas saya menarik kesimpulan bahwa Pengetahuan yiitu : Informasi yang dimiliki oleh seseorang setelah melalui proses analisis dengan bantuan indra yang sebelumnya belum pernah terjadi dan mempunyai pengertian sendiri.
Definisi Ilmu Pengetahuan ( science )
Pengertian 1 (satu) :Pengetahuan adalah Sekumpulan proposisi sistematis yang terkandung
dalam pernyataan-pernyataan yang benar dengan ciri pokok yang bersifat general, rational, objektif, mampu diuji kebenarannya (verifikasi objektif), dan mampu menjadi milik umum (Communality, The Liang Gie, 1991).
Pengertian 2 (dua) : Pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah
pencapaiannya dipertanggung-jawabkan secara teoritis (C, Verhaak).



“Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” atau juga disebut “Homo homini Lupus ” istilah ini pertama kali di kemukakan oleh plautus pada tahun 945,yang artinya sudah lebih dari 1500 tahun dan kita masih belum tersadar juga. di jaman sekarang ini sangat sulit Menjadikan Manusia seperti seorang manusia pada umumnya,sepertinya istilah ini masih tetap berlaku sampai sekarang.
Ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris, untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Siapa pun bisa menjadi musuh. Manusia yang satu bisa “memakan” dan mengorbankan manusia lain demi tujuan yang ingin dicapai. “Bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua). Kebenaran pendapat Hobbes itu masih dapat kita jumpai dalam situasi kita saat ini. Kita merasakan bahwa situasi persaingan itu semakin menguat. Apalagi di era globalisasi yang ditopang oleh sistem pasar bebas. “Kalau mau tetap eksis, harus berani bersaing dengan yang lain” itulah jargon yang seringkali dimunculkan. Di antara negara-negara, persaingan itu sangat kentara. Perusahaanperusahaan trans-nasional bertebaran di mana-mana. Yang punya modal kuat bisa bertahan dan
bahkan makin mendulang keuntungan. Sementara yang modalnya kecil kandas di tengah jalan. Situasi persaingan itu tidak hanya terjadi antar institusi. Persaingan antar individu pun terjadi.
Tidak bisa dipungkiri Hidup di dalam suatu negara sangat di butuhkan sosialisasi karena kita tidak dapat Hidup dengan sendirinya tanpa ada manusia lain.Apalagi seperti keadaan sekarang ini kita Hidup di jaman yang serba susah .Demi mempertahankan hidup itu sendiri kita rela melakukan apa saja Mulai dari yang halal sampai yang Haram, tentunya semua itu kita lakukan  untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.Untuk mewujudkan itu semua memang tidak mudah dimana kita harus menghadapi berbagai konflik yang akan memicu lahirnya sikap saling mangsa Dan disinilah Peran Hati nurani & ego sangat dibutuhkan.
gambaran manusia di jaman sekarang ini sangatlah mengerikan dari segi sikap dan perbuatan terkadang lebih keji dari pada hewan yang paling buas sekalipun,saling sikut,saling berebut saling tikam bahkan saling memangsa layaknya serigala yang buas siap menerkam mangsanya demi sebuah kepuasan (ambisi).
sebagai contoh yang terjadi di dalam kehidupan kita seperti tindakan kekerasan,mulai dari perkelahian ,pembunuhan,pemerkosaan,serta aksi teror pemboman yang sedang trend di negara kita dan perang dunia yang memungkinkan akan terjadi lagi. Apakah itu disebut manusia ? Tidak. Kenapa tidak? Karena itu semua manusia yang melakukanya dan dilakukan terhadap manusia juga ? entahlah..’
Pengakuan sebagai umat beragamapun yang telah patuh terhadap ajaranya kerap kali sebagai alasan tindakan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang. Banyak pelaku kekerasan seperti tersebut menyatakan ini masalah iman, masalah Tuhan atau masalah kebenaran (kebenaran yang ditafsirkan manusia itu sendiri).
HOMO homini lupus. Artinya, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Mungkin ucapan itu berlebihan. Mungkin juga ada benarnya. Bukankah kadang-kadang kita berperilaku seperti serigala terhadap orang lain: mengancam, menakut-nakuti, membentak, menjebak, memperdaya, mendengki dan merebut.
Kalau dipikir, sebenarnya mengerikan jika kita bersifat seperti serigala. Licin dan licik, kejam dan keji, buas dan beringas. Mengintai, menerkam dan mencakar. Kita menggigit dan memakan orang lain.
Apa jadinya kehidupan ini jika kita semua berperilaku seperti serigala. Itu berarti, kita hidup di sebuah kota dengan jutaan serigala: serigala yang mengemudi mobil, serigala yang duduk di kantor, serigala yang berjalan di mal; di mana-mana ada serigala.
O, tetapi ada kebalikannya. Homo homini angelus. Artinya, manusia menjadi malaikat terhadap sesamanya. Dalam hal ini kita malah berupaya ingin menjadi malaikat. Kita selalu mau sempurna. Kalau perlu kita memakai topeng. Tampak saleh dan suci, taat dan takwa, bertarak dan bertapa. Orang lain rusak ahlak berdosa, tetapi kita sempurna beragama. Orang lain duniawi, kita surgawi. Dalam tiap tutur kata, nama Allah selalu dibawa-bawa. Pokoknya, berbagai upaya ditempuh supaya kita menjadi malaikat alias setengah Allah.
Nah, manakah yang kita pilih? Menjadi serigala atau menjadi malaikat? Tentu jangan jadi serigala. Kalau begitu, menjadi malaikat? Juga jangan! Mana bisa kita menjadi malaikat? Untuk apa pura-pura jadi malaikat?
Kalau begitu kita menjadi apa? Homo homini homo! Artinya, manusia menjadi manusia terhadap sesamanya! Berkeprimanusiaan, berperasaan, berbudi, bertenggang rasa, bermartabat luhur, bermurah hati, berjiwa besar, bertanggung jawab, bermasyarakat, bukan menjadi serigala, bukan pula menjadi malaikat. Menjadi sesama manusia sajalah.
Pernah Kristus ditanya tentang apa artinya menjadi sesama manusia. Maka berceritalah Kristus tentang seorang korban perampokan yang terkapar di tepi jalan. Lewatlah seorang rohaniawan yang cepat-cepat buang muka. Lewatlah lagi seorang pemuka agama yang juga langsung berlaku.
Kemudian lewatlah seorang berbangsa lain dan beragama lain (bangsa itu dianggap haram dan agamanya tidak diakui!). Orang ini langsung menolong dan mengangkat korban ke tempat perawatan. Bertanyalah Kristus kepada hadirin, "Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" (Luk. 10:36).
Hadirin menjawab, "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya". Bersabdalah Kristus, "Pergilah, dan perbuatlah demikian " (ay. 37).
Itulah arti menjadi sesama manusia. Menolong orang yang perlu ditolong tanpa membedakan bangsa dan agama. Sesama manusia kita adalah orang di depan mata yang memerlukan tempat di dalam hati kita.
Tetapi justru itu yang sulit. Menjadi manusia dan menjadi sesama manusia bukanlah perkara gampang. Lebih mudah kita terperosok menjadi serigala atau berpura-pura menjadi malaikat.
Seumur hidup kita masih perlu belajar menjadi manusia. Johann Pestalozzi (1746-1827) menulis bahwa Pendidikan Agama Kristen (maksudnya juga Pendidikan Umum) adalah "to concentrate on the humanisation of man, the pure function of the church is to promote a higher, more noble and more natural life for men."
Pendidikan adalah proses homonisasi, yakni usaha agar orang berhakikat manusia. Pendidikan juga merupakan proses humanisasi, yakni usaha agar orang berperilaku manusiawi.
Jadi, sebetulnya kita tidak perlu berusaha menjadi malaikat atau setengah Allah. Kalau kita menjadi manusia bagi sesama, itu sudah bagus. Untuk apa kita coba-coba menjadi malaikat? Allah yang adalah Allah mau menjadi manusia, masakan kita coba-coba jadi Allah?
Itulah berita Natal. Allah telah menjadi manusia. "firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita..." (Yoh 1:14). Pada peristiwa Natal Allah yang ada di surga turun ke dunia untuk menjelma menjadi seorang sesama manusia.
Homo homini lupus? Uh, amit-amit! Homo homini angelus? Ah, tak usah! Homo homini homo? Ya! Manusia menjadi manusia terhadap sesamanya. Inilah luhurnya makna hidup. Menjadi seorang sesama manusia.
Kristus telah menjadi seorang sesama manusia! Natal adalah homo homini homo: supaya manusia menjadi manusia terhadap sesamanya.

Sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.”
Bagi mereka yang kurang memahami konteks dalam Alkitab, bila membaca nats diatas maka dianggap bahwa  kita lah sang domba dan orang-orang yang tidak seiman dengan kita adalah ‘serigala’nya. Betulkah demikian? Lebih parahnya lagi kalau kita menganggap dalam setiap pelayanan pasti ada ‘serigala’nya dan mulai tunjuk sana sini sambil mengatakan inilah serigala yang dimaksud Yesus. Atau ekstrimnya tidak berani berbeda pendapat karena takut dicap ‘serigala’ oleh yang lain. Oh, come on …..Jangan-jangan justru kita lah si serigala bagi mereka, memangsa teman-teman sendiri dengan segala fitnah dan penghakiman. Banyak karya misi dan pelayanan Firman putus ditengah jalan karena satu sama lain saling memangsa dan menerkam.
Bacaan Injil hari ini mengisahkan saat Yesus baru saja mengutus murid-muridNya pergi berdua-dua, memberikan mereka kuasa lalu meneruskan apa yang telah Ia lakukan dalam pelayanan-pelayananNya sebelumnya. Para murid sudah pernah ikut dan melihat apa yang telah dilakukan oleh Yesus. Sekarang saatnya mereka dilepaskan ke desa-desa disekitarnya tanpa disertai Yesus. Mereka harus melakukannya sendiri sebagai utusan Tuhan Yesus. Yesus pun tahu bahwa para murid akan berhadapan dengan berbagai tantangan seperti yang Ia alami.
Yesus yang beritikad baik ternyata juga bisa ditolak dan diusir di beberapa tempat, bahkan Ia didakwa sesat oleh Ahli Taurat. Maka para murid yang masih polos dan masih harus perlu dibimbing dan digembalakan ini laksana domba yang ditinggalkan gembalanya, berhadapan dengan para ahli Taurat dan Farisi yang seperti serigala. Biasanya kalau serigala datang, gembala turun tangan. Tapi kali ini sang Gembala mengijinkan ‘domba’nya berhadap-hadapan dengan si serigala. Bisa dibayangan pertarungannya seperti apa. Gurunya saja diserang para Ahli Taurat dan Farisi, apalagi murid-murid Yesus yang mereka tahu cuma nelayan. Tinggal dicaplok lah.
Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Homo Homini Lupus (Plautus) demikian lah manusia bisa menjadi ganas menghadapi manusia lain yang sekiranya mengancam keselamatan atau kepentingannya. Bukankah itu terjadi di dunia bisnis, juga di dunia politik? Hhm…di organisasi intelektual dan agamis pun terjadi kok. Anak-anak pun akan melakukan hal yang sama bila mainannya dipegang oleh anak lain. Mereka secara natural meradang dan marah karena menyangka harta ‘milik’nya diambil. Reaksi normal  manusia bila terancam kan? Maka apa yang dialami Yesus juga akan dialami para murid, termasuk kita juga yang menjadi para pengikut Kristus. Bahkan kitapun bisa dianggap aneh dan asing karena melawan ‘arus’ dan ’sistem’ nilai yang berlaku disekitar kita, menolak ikut korupsi, menolak ‘jalan pintas’ hanya untuk pengurusan IMB, paspor dan KTP sekalipun.
Mungkinkah domba bisa selamat bila berhadapan dengan para serigala yang saling memangsa, tanpa bantuan sang gembala dengan tongkatnya? Lalu apa saran Yesus? Cuma satu sarannya, fokus pada perutusan dan mengandalkan Sang Pengutus itu sendiri. Percaya pada penyelenggaraan Ilahi, bukan berarti boleh bermalas-malasan dan tidak mempersiapkan bekal dan cadangan. Maksudnya adalah  agar  dalam menghadapi tugas perutusan kita tidak mengandalkan ‘atribut’ pakaian diri, jabatan, kekayaan dsb. Fokus pada tugas perutusan, tidak berbelok ke kiri ke kanan dalam melakukan tugas. Tidak perlu mampir kiri kanan, seolah transit, istirahat sebentar dari perutusannya untuk sekedar menyenangkan diri karena setiap saat adalah kesempatan berharga untuk mewartakan Sabda.
Dalam tugas perutusan kita akan banyak reaksi yang dihadapi, ada yang menerima pun ada yang menolak. Itu bukan menjadi tanggungjawab kita, karena bagian kita adalah membagikan dan mewartakan Sabda melalui berbagai karya. Hasil perutusan itu biarlah rahmat Ilahi yang berkarya.  Bisa langsung, bisa juga berhasil setelah puluhan tahun, biarlah itu menjadi hak Tuhan. Do our best, and let God do the rest.
Maka dalam perjalanan kehidupan kita, marilah kita fokus untuk jalan beriringan dengan kawan sekerja Allah, mencapai tujuan pemberitaan Kabar Baik sebanyak mungkin. Tidak menjadi bagian si serigala yang saling memangsa sesamanya. Tapi kita lakukan dalam berbagai karya baik sebagai klerus, pelajar, ibu rumah tangga, kelompok profesional dan pengusaha. Siang malam tetap konsisten, tidak ada jeda, tanpa istirahat dalam arti tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan. Sampai akhirnya bersma-sama kita tiba di garis peristirahatan akhir dan berharap sang Gembala menyambut dengan tangan terbuka dan berkata : Marilah pulang dan beristirahat dalam damai.
“Kemudian dari pada itu Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya. Kata-Nya kepada mereka: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu. Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala. Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan. Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salammu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. Tinggallah dalam rumah itu, makan dan minumlah apa yang diberikan orang kepadamu, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. Janganlah berpindah-pindah rumah. Dan jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu diterima di situ, makanlah apa yang dihidangkan kepadamu, dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat padamu. Tetapi jikalau kamu masuk ke dalam sebuah kota dan kamu tidak diterima di situ, pergilah ke jalan-jalan raya kota itu dan serukanlah: Juga debu kotamu yang melekat pada kaki kami, kami kebaskan di depanmu; tetapi ketahuilah ini: Kerajaan Allah sudah dekat. Aku berkata kepadamu: pada hari itu Sodom akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu.”

Bahaya Politik "Homo Homini Lupus"
KETIKA kerakusan, cinta diri menjadi pola kehidupan, dan penghormatan kepada kebenaran lebih didasarkan pada uang dan kekuasaan, akan muncul situasi di mana orang lain bukan lagi dianggap saudara, melainkan musuh. Keadaan ini akan melahirkan apa yang disebut homo homini lupus (manusia merupakan serigala bagi sesamanya).
Pernyataan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) itu patut dicermati dengan penuh keprihatinan dan kewaspadaan. Penuh keprihatinan sebab pernyataan itu merupakan tangkapan jernih seorang tokoh agama atas realitas perpolitikan Tanah Air yang cenderung mulai diatur oleh "uang" dan "kekuasaan".
MESKI reformasi telah berjalan lima tahun, para elite negeri selalu "mengumbar janji" berkomitmen segera menciptakan sebuah sistem politik dan pemerintahan yang demokratis, beradab, berkeadilan sosial, dan selalu menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Namun, politik uang, penggunaan kekerasan, korupsi, kolusi dan nepotisme tetap berlangsung. Lihat, "keterlibatan" elite politik dalam "permainan uang" di sejumlah pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota. Bahkan, sistem pemerintahan dan birokrasi kita sejak reformasi tahun 1998 hingga kini masih mempertahankan watak korup. Sejalan dengan itu, elite partai tidak bosan-bosan mempertukarkan "mandat" konstituennya dengan setumpuk "uang" dan "jabatan".
Fenomena ini diakui Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara di depan peserta kursus reguler ke-36 dan kursus singkat ke-11 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), "…politik uang, yang pasti akan disusul korupsi, kolusi dan nepotisme, merupakan salah satu faktor yang menjerumuskan bangsa kita ke dalam krisis ekonomi yang bukan main sukarnya untuk diatasi dewasa ini."
Situasi ini sungguh memprihatinkan sebab politik uang dan penggunaan kekerasan tidak lagi disadari sebagai abnormalitas, tetapi dihayati sebagai hal yang "lumrah" terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Penuh kewaspadaan, sebab jika tidak ada partisipasi bersama oleh seluruh komponen bangsa, situasi ini-menurut Kardinal Darmaatmadja-akan mengarah pada munculnya paham homo homini lupus.
Akibatnya, kehidupan politik nasional akan lebih banyak diwarnai tampilnya para politisi yang setiap langkahnya selalu diorientasikan pada gerakan "politik mencari makan" bukan untuk mewujudkan "kebaikan bersama" (public good). Dampaknya, Pemilu 2004 nanti pasti akan banyak dipenuhi permainan politik "kotor" yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan (kekuasaan).
Pemilu pada hakikatnya merupakan media terbaik bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Karena itu, seluruh mekanisme, proses dan hasil pemilu harus diselamatkan dari segala praktik politik "jual-beli" yang bisa mencederai kedaulatan rakyat. Pernyataan Kardinal Darmaatmadja itu harus dilihat sebagai salah satu usaha preventif (salvation) agar "kontrak politik" antara rakyat dan para calon pemimpin nasional dalam pemilu nanti bisa berlangsung fairness, sukses, dan benar-benar mampu memenuhi harapan seluruh rakyat Indonesia.
MENURUT Nicolaus Driyarkara, tokoh pendidikan filsafat di Indonesia, eksistensi manusia dalam hubungannya dengan sesama adalah homo homini socius, manusia adalah kawan atau rekan bagi sesamanya. Karena itu, keinginan dan usaha untuk menghabisi sesama dalam persaingan berdarah, bahkan usaha meniadakan sesama dengan menghilangkannya lewat iklim hidup sosial yang kejam-keji, yaitu homo homini lupus, di mana manusia saling iri, dengki, mencakar, dan membunuh, harus ditolak. Konsekuensi logis tesis manusia adalah karib bagi sesamanya, dalam konteks kehidupan politik, adalah ditolaknya perilaku "rakus" mirip "serigala" dari para politisi yang tidak segan menggunakan kekerasan dan menumpahkan darah rakyat tidak berdosa demi kekuasaan politik.
Para politisi dituntut lebih mampu menguasai diri dari naluri destruktif melalui proses humanisasi (pemanusiaan) apaapa yang membuatnya ganas, brutal, dan mau berkuasa liar. Nalar "serigala" harus diganti dengan nalar "manusiawi". Dalam situasi budaya politik masa kini yang serba pragmatis-materialistis, para politisi harus mampu menampilkan eksistensinya sebagai manusia (subyek) yang sadar diri, bermartabat, dan tidak bisa digilas godaan politik uang dan kekuasaan.
Nalar "manusiawi" dalam pola berpolitik, berpartai, dan bernegara mengejawantah pada terbentuknya komitmen (konsensus) bersama dari seluruh stakeholder politik dan kekuasaan untuk meletakkan esensi politik sebagai usaha mewujudkan "kebaikan bersama".
Sebagaimana dikemukakan Aristoteles, politik merupakan asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh masyarakat. Kebaikan bersama (kepentingan publik) itu, menurut Aristoteles, memiliki nilai moral yang jauh lebih tinggi daripada kepentingan individual maupun kelompok.
Dengan begitu, seluruh bentuk aktivitas politik sebagai derivasi homo homini socius masuk dalam lokus kebudayaan. Kebudayaan di sini diartikan keseluruhan proses pemekaran bakat, energi, dan kemampuan kreatif manusia yang membuatnya sejahtera dalam hubungan vertikal (transendental) maupun horizontal (kemanusiaan). Ruang kebudayaan inilah yang akan memberi guidance politisi menghapus kosakata "musuh politik" diganti "kompetitor politik", "cinta diri" digantikan dengan "cinta sesama", sebutan "wong liyan" dengan "saudara", konsepsi "takhta untuk uang" diganti "takhta untuk rakyat" dan sebagainya.
Jalan menuju ke arah itu, menurut Driyarkara, hanya bisa ditempuh melalui dua cara, hominisasi dan humanisasi. Hominisasi dimaknai sebagai sebuah proses panjang dari kandungan, kelahiran, sampai kematian yang berlangsung sebagai proses perkembangan fisik biologis kian mematangkan diri untuk menjadi manusia. Adapun, humanisasi sebagai tindak lanjut proses hominisasi terkait lekat pembudayaan diri dan lingkungan pematangan diri secara fisiologis dan kultural dalam memberi arti dan merajut makna secara simulta.
CITA-cita humanisasi politik, secara kultural maupun struktural berpijak pasti dan tegas pada visi kemanusiaan manusia sebagai rekan bagi sesamanya. Untuk itu, para politisi harus bersedia melakukan revolusi radikal dalam cara berpikir politiknya. Tidak ada pilihan lain kecuali meneladani pikiran-pikiran Driyarkara sebagai bahan pertimbangan utama setiap aktivitas politiknya.
Karena itu, kekhawatiran Kardinal Darmaatmadja SJ atas menguatnya paham homo homini lupus dalam pentas politik nasional hanya akan bisa di hapus melalui kesediaan seluruh pemimpin dan rakyat Indonesia untuk mewujudkan obsesi Driyarkara, visi manusia sebagai sahabat bagi sesamanya (homo homini socius) dalam kehidupan perpolitikan Tanah Air. Ini merupakan lawan dari penindasan manusia atas sesamanya; merupakan antitesis pandangan perlakuan sesama sebagai saingan, bahkan musuh yang harus dibunuh atau disingkirkan bila kepentingan bertabrakan.
Namun, problem mendasarnya adalah bagaimanakah caranya agar politisi kita bersedia meninggalkan paham homo homini lupus? Bersediakah mereka melakukan proses humanisasi atau pembudayaan untuk kian merajut lingkungan politik di mana manusia bersesama mencapai kemanusiaan penuh dan harkat utuh? Pertanyaan ini layak diajukan sebab setelah perdebatan filosofis antara Soepomo dan M Hatta tentang bentuk (model) negara berakhir, sejak itu pula bangsa Indonesia hanya disuguhi "debat kusir" politisi yang hanya berorientasi kursi, uang, dan takhta.
HOMO HOMINI SOCIO
Homo homini socio “Manusia adalah teman bagi manusia lain”.
Definisi Manusia didalam Homo Homini Socio, Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalamagama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.

Meskipun banyak spesies berprinsip sosial, membentuk kelompok berdasarkan ikatan / pertalian genetik, perlindungan-diri, atau membagi pengumpulan makanan dan penyalurannya, manusia dibedakan dengan rupa-rupa dan kemajemukan dari adat kebiasaan yang mereka bentuk entah untuk kelangsungan hidup individu atau kelompok dan untuk pengabadian dan perkembangan teknologi, pengetahuan, serta kepercayaan. Identitas kelompok, penerimaan dan dukungan dapat mendesak pengaruh kuat pada tingkah laku individu, tetapi manusia juga unik dalamkemampuannya untuk membentuk dan beradaptasi ke kelompok baru. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan interaksi antar manusia.
Di dalam kehidupan sehari-hari kita pasti membutuhkan orang lain untuk berinteraksi dan beradaptasi.tanpa orang lain pun kita tak bisa apa-apa.Saling membantu,menolong,menghargai,dan menghormati sesama manusia yang hidup di dunia ini.
Contohnya Peristiwa Sumanto beberapa tahun yang lalu begitu mengemparkan, membuat ketidakmengertian mengapa ada manusia yang memakan manusia lainnya walau sudah berbentuk mayat. Kanibalisme sungguh sangat tidak bisa ditolelir sama sekali. Bagaimana dengan masa kini ? Kalau kita mau cermati tentunya kita akan melihat bahwa pemangsaan atau kanibalisme ini telah mengalami perubahan kondisi. Kanibalisme telah berubah bentuk yang lebih halus, yaitu perilaku, cara berfikir,
manner, pemahaman, dll.

Kekerasan terjadi dimana-mana. Eksploitasi manusia terhadap manusia tak dapat dihindarkan. Manusia dalamkehidupan bersama semakin terancam. Hukum memperkosa keadilan. Kehidupan manusia berada di titik nol kondisi seperti itulah yang kini dialami manusia dalam kehidupan masyarakat –bahkan dibeberapa abad silam. Padahal manusia bermasyarakat untuk mencapai tujuan bersama demi kehidupan yang lebih baik. Bertolak dari persoalan tersebut patut diajukan pertanyaan Apakah manusia itu? Siapakah manusia itu? Bagaimanakah kodrat kehidupan manusia? Mengingat persoalan yang dihadapi menyangkut manusia sebagai subyek (pelaku) dalamkehidupan sosial. Itulah yang direnungkan Drijarka setengah abad silam. Ia merenungkan gejala-gejala sosial bertolak
pengalaman eksistensi manusia. Gejala-gejala sosial dilihat dari pengalaman eksistensial manusia sebagai subyek sosial. Gagasan-gagasan tentang manusia merupakan sentral pemikirannya.

Ia menolak gagasan bahwa kehidupan manusia dituntun oleh nafsu-nafsu.
Inti perenungannya tentang manusia merupakan lawan terhadap tesis homo homini lupus, yang bergagasan bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus untuk memuaskan hasrat. Kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi untuk meraih kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan. Dan, dengan rasionya manusia dapat belajar dari pengalaman cara-cara paling efektif untuk memperoleh kepuasan dan menghindari kekecewaan. Jadi, kehidupan menurut kodrat manusia adalah sebuah pertempuran.


kepentingan egoisitisnya. Manusia secaara kodrati tidak mencari masyarakat demi masyarakat itu
sendiri, melainkan mencari keuntungan tertentu darinya. Oleh karena itu hubungan-hubungan sosial merupakan produk dari kalkulasi dan persetujuan daripada dorongan. Hubungan-hubungan sosial lebih bersifat eksternal bagi individu daripada merupakan kesepahaman moral bersama.
Pandangan seperti itulah yang ditolak Drijarkara. Bagi Drijarkara, manusia bukan pertentangan antara jiwa dan badan. Manusia adalah pribadi dengan dimensi kejasmanian dan kerohanian, dimana roh mewujudkan refleksi budi dan kesadarannya dengan melalui badan, kejasmanaian merupakan ungkapan roh yang menjelma. Aksi (tindakan) manusia tidak bersifat eksternal, melainkan dari manusia itu sendiri (internal). Manusia sebagai pribadilah yang menentukannya. Dia berdaulat atas dirinya sendiri. Berdaulat tidak merupakan satu bagian tapi keseluruhan. Dalam perbuatannya manusia dapat menjadi baik atau sebaliknya. Dengan kedaulatannya manusia mampu menuju kesempurnaan juga sebaliknya.

Dengan demikian manusia adalah sebuah paradoks. Karena dalamdirinya mengandung dua prinsip: manusia berupa “apa” (jasmani) dan manusia berupa “siapa” (rohani). Karena dua prinsip itulah manusia mengandung oposisi-oposisi dalamdirinya, dia adalah kesatuan dari dua prinsip yang berlawanan.


Oleh karenanya kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus menuju kesempurnaan
(menuju kemutlakan Tuhan). Suatu perjuangan mengatasi paradoks dalam dirinya.
Sumber :www.google.com